Memperoleh 7 nominasi dalam Golden Globe ke-81, 8 Januari 2024 kemarin, "Killers of the Flowers Moon" berhasil bawa pulang 1 piala bergengsi, untuk pemeran wanita / aktris drama terbaik atas nama Lily Gladstone. Apa yang membuat film 3 jam 26 menit karya Martin Scorsese ini begitu memikat? Jawabannya adalah "Nyata dan Natural".
Setidaknya inilah penilaian awal saya sebelum nanti membahasnya di After Taste. Rasa penasaran terhadap film ini agak terbentur dengan durasi yang sangat panjang tersebut, apalagi genre-nya adalah Drama. Diadaptasi dari buku non-fiksi karya David Grann yang berjudul sama "Killers of the Flowers Moon" yang terbit 2017 berdasarkan sebuah kisah nyata. Film ini mengambil landskap tahun 1930 an di Desa Osage yang mewarisi budaya suku Indian. Diksi  Flower Moon menandakan "Bunga bulan" berwarna ungu yang bermekaran di wilayah Amerika Utara tersebut saat Bulan Purnama di bulan Mei.
Jika dari bukunya mengambil sudut pandang Mollie Kyle, wanita darah-murni Indian yang diperankan Lily Gladstone, maka di film yang diproduksi Martin Scorsese lewat bendera Apple Studios dan didistribusikan oleh Paramount Pictures ini lebih mengedepankan sosok Ernest Burkhart yang menjadi suami Mollie. Bukan permasalahan gender-sentris, tetapi memang sosok inilah yang bisa menyambungkan peristiwa-peristiwa nyata di Desa Osage, yang dalam penyelesaiannya melibatkan nama besar yang pernah diperankan Leonardo DiCaprio juga, J. Edgar Hoover.
Sebuah trivia, bahwa pengusutan kasus kematian banyak warga asli-Indian di desa Osage ini dipimpin terpusat di bawah pengawasan J. Edgar Hoover, dan merupakan salah satu cikal bakal terbentuknya satuan kepolisian negara Amerika, Federal Bureau of Investigation (FBI).
Back Stage
Penggemar Martin Scorsese pasti paham bahwa ia tidak akan sungkan memberikan durasi film yang panjang, seperti GoodFellas, The Departed, Silence dan The Irishman. Pria kelahiran New York ini terkenal cukup idealis, terutama pandangan negatif-nya tentang film-film superhero. Kali ini ia menjadi produser, sutradara sekaligus penulis naskah adaptasinya. Eric Roth membantunya dalam menuliskan skrip naskah, serta David Grann sang empunya buku, tentu mendapatkan kredit atas karyanya.
Para artis yang mengisi film "Killers of the Flowers Moon" ini mayoritas adalah rekan kepercayaan Scorsese di film-film sebelumnya. Robert De Niro (William King Hale) mungkin merupakan aktor yang paling sering bekerjasama dengannya, kemudian ada Leonardo DiCaprio (Ernest Burkhart), Lily Gladstone (Mollie Kyle), Jesse Plemons (Agent Thomas Bruce White Sr.), Brendan Fraser (Pengacara W. S. Hamilton ) dan artis-artis lainnya. Sinematografinya dikerjakan oleh Rodrigo Prieto dan musiknya digarap oleh Robbie Robertson.
Film ini mulai diproduksi pada 2018, namun karena ada pandemi COVID-19 menjadi tertunda dan dimulai lagi pada Februari 2021. Penundaan ini memungkinkan Apple Studios masuk sebagai salah satu distributornya, tentu bersama Paramount Pictures, sehingga film "Killers of the Flowers Moon" selain sudah pernah tayang di Indonesia pada akhir Oktober 2023, juga bisa disaksikan di layanan AppleTV melalui link berikut.
Menggunakan kolaborasi rumah produksi Sikelia Productions milik Scorsese, dan Appian Way Productions milik DiCaprio, dikabarkan budget total film ini senilai 200 juta USD, yang mana merupakan budget tertinggi untuk film yang diambil di Oklahoma. Syuting langsung dilakukan di areal peternakan sapi yang luas di wilayah Oklahoma, juga beberapa tempat penambangan minyak bumi. Menikmati view ini dengan kamera drone terasa sangat memuaskan, namun sayang scene ini sangat minim sekali.
Sinopsis
Pada suatu saat di masa lalu hiduplah masyarakat Desa Osage yang dihuni kaum pribumi-Indian. Doa-doa dalam bahasa Choktaw mereka panjatkan, terutama ketika momen penemuan tambang minyak bumi. Praktis dengan daerah yang kaya hasil bumi itu, mereka menjadi salah satu suku terkaya di wilayah Amerika Utara tersebut.
Akhirnya "saatnya" telah tiba, dimana orang kulit putih Amerika mulai melakukan asimilasi di daerah tersebut. Digambarkan di medio 1920-1930, lewat transportasi kereta, transmigran kulit putih ratusan jumlahnya mulai memasuki Desa Osage, salah satunya adalah Ernest Burkhart.
Ernest merupakan warga Amerika kulit putih keturunan Yahudi, mantan koki untuk pasukan sekutu di Perang Dunia I. Ia terpanggil ke wilayah Osage karena disana ada pamannya, William Hale, dan saudaranya Byron. Dalam pertemuan keluarga itu, Ernest menyadari bahwa pamannya merupakan salah satu penguasa di Desa Osage dengan usaha peternakan sapi-nya, serta menjabat sebagai asisten Sherrif di daerah tersebut. Panggilan yang diinginkan oleh sang paman dari semua orang ialah, William "King" Hale.
Hari-hari awal Ernest di Osage dipekerjakan sebagai "supir taksi" oleh King Hale, dan ia pun mendapati pelanggan pertamanya yang juga love at the first sight-nya, Mollie Kyle.
Mollie Kyle digambarkan sebagai salah satu dari anak-anak perempuan Lizzie Q, yang merupakan janda tuan tanah terbesar di Desa Osage. King Hale menjelaskan bahwa dengan menikahi Mollie, Ernest akan dapat merubah hidupnya menjadi salah satu orang terkaya di daerah itu. Penjelasan yang sekaligus bisa menebak arah keinginan King Hale, yang ternyata bukan hanya menjadi bos dari peternakan sapi saja.Â
Rasa cinta Ernest pada Mollie dikatakannya sama besar dengan rasa cintanya akan uang. Inilah yang akan menjadi konflik batin darinya hingga akhir film, dimana secara beruntun di Desa Osage terjadi kematian-kematian misterius, yang merenggut banyak nyawa warga pribumi-Indian.
After Taste
Dalam 20 menit awal, kita mungkin bisa menebak arah plot film ini. Martin Scorsese tidak merahasiakannya seperti film thriller dengan plot twist, tetapi ini mungkin juga sebuah alasan saya bisa mengantuk di tengah film. Kurang adanya elemen kejutan. Bagaimanapun juga, jika film ini ditujukan untuk mengangkat fakta-fakta penting sejarah Amerika, itu sangat berhasil. Saya menjadi paham konflik-konflik antar pribumi-pendatang dengan SANGAT JELAS, tanpa ada pertanyaan "mengapa? lagi".
Saya menyoroti panjangnya durasi, agak sedikit mubazir dengan menggambarkan banyak kematian. Toh di akhir film, Scorsese punya cara cerdik untuk me"narasi"kan akhir nasib dari para tokohnya. Seharusnya beberapa kematian tidak perlu diperjelas.
Yang luar biasa adalah make up para Artis-nya yang terlihat sangat natural. Tidak ada "over" sekalipun untuk menunjukkan kaum Indian, ataupun tidak ada kumis melinting berlebihan dari kaum pribuminya. Inilah yang membantu saya terbenam dalam karakter Ernest Burkhart.
Saya mengira di awal kemunculannya, Leonardo DiCaprio akan sama seperti karakter Danny Archer di "Blood Diamond". Tapi seperjalanan cerita, Ernest akan dibawa pada konflik dirinya yang rakus, polos, dan sebenarnya tidak terlalu pintar. Ia hanya mempunyai hati yang besar untuk Mollie, dimana inilah yang akan ia pertahankan. Sampai di satu adegan stasiun kereta api, saya menyadari bahwa sesungguhnya Mollie lah yang membawa cerita ini menuju happy ending, setidaknya hanya untuk beberapa waktu. Kekuatan karakter Lily Gladstone memang layak diganjar Golden Globe Awards.
Ada sebuah kalimat yang dua kali diucapkan Ernest pada Mollie,Â
"Mungkin keadaannya harus menjadi lebih buruk, sebelum semuanya menjadi lebih baik, Molly". Ini terngiang di pikiran saya setelah usai menyaksikan film ini dalam dua periode (karena tertidur.. hehehe)
IMDb memberikan rating 7.8/10, sedangkan saya secara subyektif memberikan nilai 7.5/10. Canon ceritanya dengan Presiden Amerika dan J. Edgar Hoover membuat saya kembali semangat menikuti plotnya, dimana juga terhibur dengan hadirnya Brendan Fraser di akhir film.
Martin Scorsese dikabarkan ingin membuat film tentang "Yesus Kristus" lagi, dan saya tidak sabar untuk menantikannya. Sudut pandang orang idealis sepertinya bisa tersampaikan dengan baik, bila dapat kesempatan secara terbuka melalui media Film.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H