Mohon tunggu...
Gregory Hans Nugraha
Gregory Hans Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

amdg

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Ekskursi 2024 Menyelami Perbedaan, Merajut Toleransi

20 November 2024   22:35 Diperbarui: 21 November 2024   03:09 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Genteng yang pecah setelah dinamika pukul genteng (Sumber: Christopher Hendrick)

"Yang sepele bagimu, bisa berarti segalanya bagi orang lain"

Pada hakikatnya, semua manusia itu berbeda. Hal Itu adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Manusia dapat berbeda secara suku, ras, agama, dan golongan. Dengan demikian, bahkan bisa dibilang bahwa setiap manusia itu unik. 

Sudah 79 tahun sejak Ir. Soekarno membacakan proklamasi kemerdekaan. Kala itu, persatuan antara golongan-golongan perwakilan daerah Indonesia, atau "Jong" merupakan kunci kemerdekaan. Persatuan dari berbagai "Jong" dari seluruh Indonesia memungkinkan tersusunnya dokumen-dokumen yang menjadi pilar fondasi Indonesia, bahkan 70 tahun kemudian. 

Kemerdekaan merupakan salah satu pencapaian paling monumental Indonesia yang melepaskan rantai-rantai perbudakan dan eksploitasi Kolonialisme dan Imperialisme. Namun, kini Indonesia harus mengemban tugas yang lebih berat, perjuangan yang lebih sulit, yaitu untuk mempertahankan kemerdekaan. Mencapai kemerdekaan mungkin susah, tetapi yang lebih susah adalah mempertahankan persatuan dan kesatuan tersebut.

"Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri" - Ir. Soekarno

Pada kenyataannya, pernyataan Soekarno relevan dengan situasi Indonesia. Diskriminasi, perbedaan, dan konflik sering kali terjadi hanya karena perbedaan SARA, terutama agama. Akan tetapi, Indonesia masih memiliki harapan, harapan akan generasi penerusnya untuk menerapkan, menanamkan, dan menumbuhkan toleransi Indonesia. Namun, bagaimana caranya? Bagaimana generasi muda akan memupuk nilai yang begitu penting bagi keberlangsungan Indonesia? 

Kekhawatiran Belaka

Pagi-pagi buta, saat langit berselimut gelap dan matahari belum tiba, deretan bus perlahan bermunculan di sepanjang Menteng Raya. Mereka datang entah dari mana, memenuhi parkiran dan menyebabkan kemacetan. Tidak lama kemudian, muncullah para Kanisian, menyeret koper, menggendong tas-tas aneka rupa, dan menentang barang-barang bawaan yang aneh.  Ada yang membawa sleeping bag, gayung, dan bahkan ember mandi, seperti sedang persiapan pindah rumah.

"Muka-muka mereka begitu semangat, tetapi adapun khawatir. Sebenarnya kemanakah mereka akan pergi?" 

Di saat sekolah lain belajar, sekelompok Kanisian kelas XII memulai perjalanan menuju Pondok Pesantren Al-Mizan dengan membawa bekal, barang-barang, dan cerita-cerita. Banyak yang sudah mendengar cerita-cerita dari peserta ekskursi sebelumnya, tetapi mereka tetap dihimbau untuk berpikir secara terbuka. 

Ketidakpastian akan kehidupan mereka selama tiga hari ke depan benar-benar mengganggu beberapa orang sehingga memenuhi bus dengan suasana menegangkan. Namun, kekhawatiran tersebut lenyap di saat mereka menginjakkan kaki di Pondok Pesantren Al-Mizan. 

"Welcome to Al-Mizan Islamic Boarding School"

Sambutan di Pondok Pesantren Al-Mizan sungguh hangat dan meriah. Tepat setelah turun, para Kanisian langsung disambut oleh para santri dan santriwati yang tengah menjalani kegiatan belajar-mengajar. Para santri berbaris, bernyanyi, bermain semacam gendang kecil, dan menari-nari. 

Berbeda dengan kehidupan di Kota Jakarta yang begitu monoton, suasana di Pondok Pesantren Al-Mizan sangatlah meriah dan hangat. Bagi para Kanisian, sambutan semacam ini sangatlah asing dan benar-benar diluar ekspektasi. Kerja keras para santri dan santriwati berhasil menghilangkan kekhawatiran yang sebelumnya menempati pikiran para Kanisian dan menggantikannya dengan antusiasme yang membara-bara.

Sarung, Kain Merajut Kebersamaan

Setelah pembukaan, para Kanisian diarahkan ke kamar masing-masing untuk beristirahat sejenak. Namun, suasana istirahat itu berubah menjadi pengalaman yang tak terlupakan ketika bertemu pengurus santri yang sedang bersantai. Awalnya, pertemuan mereka terasa canggung, kedua kelompok hanya saling mengamati, tanpa banyak bicara. Akan tetapi, suasana mencair melalui kegiatan sederhana tetapi bermakna, yaitu pertukaran budaya. 

Para Kanisian dikenalkan dengan atribut khas seorang santri, yaitu sarung. Bagi santri, sarung memiliki makna yang mendalam dan lebih dari sekadar atribut pakaian sehari-hari. Di pesantren, sarung adalah simbol identitas dan kewajiban, yang dikenakan dengan gaya unik, yaitu "belah dua atau tengah". 

Gaya ini mengutamakan kenyamanan, memberikan penggunanya ruang gerak yang lebih bebas dari celana jeans sekalipun. Selain itu, ikatan sarung ini begitu kuat sehingga tetap terjaga meski tertarik berkali-kali.

Terpukau oleh penjelasan mereka, para Kanisian pun segera mencoba mengikat sarung dengan gaya tersebut. Ketawa segera memenuhi ruangan ketika sarung-sarung mereka berkali-kali lepas, berhasil dipeloroti oleh sesama Kanisian. 

Namun, semangat mereka tidak surut. Hari demi hari, para Kanisian berlatih hingga akhirnya menjadi ahli dalam mengikat sarung dengan kokoh dan cepat. Bagi Kanisian, ini bukan hanya tentang sarung, tetapi merupakan momen belajar, berbagi, dan membangun tali persaudaraan, tujuan utama ekskursi. 

Genteng Pecah

Genteng yang pecah setelah dinamika pukul genteng (Sumber: Christopher Hendrick)
Genteng yang pecah setelah dinamika pukul genteng (Sumber: Christopher Hendrick)

Salah satu dinamika paling menarik selama ekskursi 2024 adalah dinamika pukul genteng. Jatiwangi, Majalengka merupakan penghasil genteng terbesar satu Indonesia. Bagi mereka, genteng bukanlah hanya sarana pembangunan rumah, tetapi wadah yang menampung kreativitas masyarakat. 

Bagi para Kanisian, mereka tidak pernah memikirkan genteng sebagai alat musik sekalipun, bagi mereka genteng hanyalah genteng. Di Al-Mizan, Genteng menjadi salah satu instrumen alat musik yang didalami. Para Santri memukul genteng sesuai irama, menghasilkan ritme dan tawa. 

Lagu yang dimainkan begitu asik dan Kanisian yang antusias bahkan sampai memecahkan beberapa genteng, sebuah peristiwa yang begitu memalukan, tetapi mengesankan.

Perpisahan yang mengharukan

Para Kanisian dengan Santri Pondok Pesantren Al-Mizan (Sumber: George Ernest)
Para Kanisian dengan Santri Pondok Pesantren Al-Mizan (Sumber: George Ernest)

Setelah olahraga pagi, para Kanisian mulai berkemas. Mereka merapikan pakaian dan membersihkan lingkungan sekitar, memastikan tidak meninggalkan jejak material apa pun. Hari-hari mereka di Pondok Pesantren Al-Mizan terasa begitu singkat. 

Tiga hari yang penuh dinamika dan pertukaran budaya berlalu dalam sekejap mata. Selama waktu itu, mereka tidak hanya belajar dari para santri tetapi juga mengenalkan budaya mereka sendiri, menciptakan persahabatan yang tak terlupakan.

Namun, saat tiba waktunya berpisah, suasana berubah menjadi haru. Para santri enggan melepaskan kepergian Kanisian. Dalam hati, mereka menyimpan harapan sederhana, bahwa "perpisahan bukan berarti berhenti untuk menyatukan."

Bagi sebagian besar Kanisian, ekskursi ini adalah pengalaman pertama dan mungkin satu-satunya kesempatan mengunjungi sebuah pondok pesantren. Meski awalnya mereka mengeluh tentang makanan sederhana, kamar mandi yang gelap, dan udara yang panas, semua itu kini menjadi kenangan manis yang membekas di hati.

Di sisi lain, para santri merasa bahwa perbedaan mereka dengan Kanisian bukanlah pemisah, melainkan jembatan. Perbedaan itu menjadikan persahabatan mereka unik, membuka pintu bagi kedua kelompok untuk saling belajar dan memahami.

Ketika para Kanisian menaiki bus, sekelompok santri dan santriwati muncul, melambaikan tangan dengan penuh semangat. Mereka mengulurkan tangan untuk tos, meminta tanda tangan, dan bahkan memberikan ucapan selamat tinggal. Gestur sederhana itu adalah simbol perpisahan yang sulit, tetapi juga bukti bahwa hubungan yang terjalin di Al-Mizan akan terus dikenang.

Toleransi melalui Interaksi

Pada dasarnya, Ekskursi adalah sebuah "penyelaman". Kegiatan ini memberikan kesempatan para Kanisian untuk "menyelami" budaya dan tradisi yang dipegang teguh oleh saudara kami yang beragama muslim. Melalui interaksi secara langsung, para Kanisian ini diberikan kesempatan menarik untuk merasakan secara langsung, rutinitas padat para santri, sebuah kesempatan yang bahkan hanya dirasakan sebagian kecil umat muslim.

"Penyelaman" seperti inilah yang dibutuhkan Indonesia. Sesuai dengan Social Constructivism Theory yang dikemukakan Peter L. Berger, "penyelaman" seperti ekskursi yang memberikan sarana dialog, komunikasi, dan pertukaran antara dua kelompok, akan membangun toleransi di antara mereka. 

Para Kanisian dan santri akan saling mengerti, memahami, dan menghargai budaya serta tradisi yang dipegang teguh karena mengerti betul makna yang tersirat di belakang setiap tindakan. 

Sebagai negara yang begitu beragam, konflik dapat muncul karena intoleransi. Suara adzan yang kencang, misalnya, mungkin mengganggu dan tidak diperlukan bagi umat non-muslim. Padahal, bagi umat muslim, Adzan menjadi panggilan untuk sholat dan ibadah. 

"Penyelaman" seperti ekskursi memberikan wawasan baru terkait budaya-budaya mereka, memungkinkan para Kanisian untuk mengerti dan mentoleransi suara tersebut, meskipun hanya beberapa menit setiap harinya.

Kesimpulan

Indonesia akan segera memasuki masa keemasannya. Namun, kejayaan dan perkembangan Indonesia akan sia-sia, apabila masyarakatnya terpecah-belah hanya karena urusan "sepele", yaitu SARA. Berbeda itu boleh dan bahkan dianjurkan karena setiap orang berhak memiliki kebebasan untuk memilih kepercayaan dan agama. 

Namun, SARA bukanlah tembok yang menghalangi tali persaudaraan, melainkan nilai tambah. Perbedaan dalam persaudaraan, memberikan kesempatan kedua belah pihak untuk melihat dunia melalui berbagai kacamata, memberikan ide-ide dan perspektif yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. 

Dalam perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaan, toleransi adalah kunci segalanya. Sebentar lagi, estafet kekuasaan kepada generasi muda akan berlangsung dan sejak itu nasib Indonesia akan berada di tangan mereka. Dengan demikian, sudah seharusnya toleransi dipupuk, ditumbuhkan, dan diutamakan dalam pendidikan generasi muda Indonesia melalui program-program sekolah seperti Ekskursi 2024. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun