Lagu yang dimainkan begitu asik dan Kanisian yang antusias bahkan sampai memecahkan beberapa genteng, sebuah peristiwa yang begitu memalukan, tetapi mengesankan.
Perpisahan yang mengharukan
Setelah olahraga pagi, para Kanisian mulai berkemas. Mereka merapikan pakaian dan membersihkan lingkungan sekitar, memastikan tidak meninggalkan jejak material apa pun. Hari-hari mereka di Pondok Pesantren Al-Mizan terasa begitu singkat.Â
Tiga hari yang penuh dinamika dan pertukaran budaya berlalu dalam sekejap mata. Selama waktu itu, mereka tidak hanya belajar dari para santri tetapi juga mengenalkan budaya mereka sendiri, menciptakan persahabatan yang tak terlupakan.
Namun, saat tiba waktunya berpisah, suasana berubah menjadi haru. Para santri enggan melepaskan kepergian Kanisian. Dalam hati, mereka menyimpan harapan sederhana, bahwa "perpisahan bukan berarti berhenti untuk menyatukan."
Bagi sebagian besar Kanisian, ekskursi ini adalah pengalaman pertama dan mungkin satu-satunya kesempatan mengunjungi sebuah pondok pesantren. Meski awalnya mereka mengeluh tentang makanan sederhana, kamar mandi yang gelap, dan udara yang panas, semua itu kini menjadi kenangan manis yang membekas di hati.
Di sisi lain, para santri merasa bahwa perbedaan mereka dengan Kanisian bukanlah pemisah, melainkan jembatan. Perbedaan itu menjadikan persahabatan mereka unik, membuka pintu bagi kedua kelompok untuk saling belajar dan memahami.
Ketika para Kanisian menaiki bus, sekelompok santri dan santriwati muncul, melambaikan tangan dengan penuh semangat. Mereka mengulurkan tangan untuk tos, meminta tanda tangan, dan bahkan memberikan ucapan selamat tinggal. Gestur sederhana itu adalah simbol perpisahan yang sulit, tetapi juga bukti bahwa hubungan yang terjalin di Al-Mizan akan terus dikenang.
Toleransi melalui Interaksi
Pada dasarnya, Ekskursi adalah sebuah "penyelaman". Kegiatan ini memberikan kesempatan para Kanisian untuk "menyelami" budaya dan tradisi yang dipegang teguh oleh saudara kami yang beragama muslim. Melalui interaksi secara langsung, para Kanisian ini diberikan kesempatan menarik untuk merasakan secara langsung, rutinitas padat para santri, sebuah kesempatan yang bahkan hanya dirasakan sebagian kecil umat muslim.
"Penyelaman" seperti inilah yang dibutuhkan Indonesia. Sesuai dengan Social Constructivism Theory yang dikemukakan Peter L. Berger, "penyelaman" seperti ekskursi yang memberikan sarana dialog, komunikasi, dan pertukaran antara dua kelompok, akan membangun toleransi di antara mereka.Â
Para Kanisian dan santri akan saling mengerti, memahami, dan menghargai budaya serta tradisi yang dipegang teguh karena mengerti betul makna yang tersirat di belakang setiap tindakan.Â