Mohon tunggu...
Gregory Hans Nugraha
Gregory Hans Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

amdg

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Industri Nikel Indonesia, Kurangnya Transparansi dan Regulasi

8 November 2024   23:31 Diperbarui: 9 November 2024   04:01 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah Indonesia terus mendorong kemajuan industri nikel guna mendukung transisi menuju energi hijau, khususnya di perairan Halmahera. Namun, alih-alih membawa indonesia menuju energi keberlanjutan, dampak dari produksi bijih nikel justru merusak lingkungan sekitar. Masyarakat lokal, khususnya para nelayan dan petani yang menggantungkan hidup pada perairan, hanya dapat menyaksikan kehancuran daerah yang menjadi sumber kehidupan mereka. 

Sudah enam tahun berlalu sejak berdirinya Indonesia Weda Bay Industrial Park, proyek tersebut menyandang status sebagai prioritas dan obyek vital nasional. Akan tetapi, menurut kacamata masyarakat perairan Halmahera, status tersebut seolah-olah omong kosong. 

Bagaimana tidak? IWIP telah terbukti menimbulkan dampak serius pada lingkungan perairan Halmahera, seperti pencemaran air, udara, dan deforestasi, padahal perairan Halmahera di Maluku Utara terkenal akan diversitas alam yang dimilikinya. Perairan Halmahera, yang kaya akan biodiversitas ikannya, sudah lama menyediakan kehidupan bagi warga sekitar. Kini, kekayaan yang menjadi aset negara, dibiarkan begitu saja dan seolah-olah ditukarkan dengan nilai ekspor yang mencapai 500 triliun rupiah. 

Ketidakpedulian pengelola IWIP dan berbagai usaha pertambangan di perairan Halmahera telah menarik perhatian lembaga-lembaga internasional. Pada 17 Januari 2024, Climate Right International (CRI) mengeluarkan kartu merah kepada kompleks industri nikel PT Indonesia Weda Bay Park (IWIP), Halmahera. 

CRI melaporkan bahwa IWIP melanggar hak asasi manusia, menyebabkan deforestasi, dan mencemari ekosistem Halmahera. Tidak hanya itu, dilaporkan juga bahwa kandungan krom heksavalen (Cr), nikel (Ni), dan tembaga (Cu) melebihi ambang baku mutu, bahkan berkali-kali lipat. 

Sesungguhnya, tidak ada yang salah dengan menggunakan Sumber Daya Alam (SDA), terutama bagi negara berkembang seperti NKRI. Banyak negara seperti Iran, salah satu produsen minyak terbanyak dunia, yang memberdayakan SDA yang dimiliki. 

Dengan demikian, sebenarnya keinginan pemerintahan presiden Jokowi untuk melakukan hilirisasi industri nikel Indonesia tidak salah dan justru sangat membantu perekonomian Indonesia. Akan tetapi, yang masih kurang dalam hilirisasi tersebut adalah eksekusinya.

Industri pengolahan dan ekstraksi bijih nikel bukanlah sesuatu yang baru. Sudah banyak sekali negara, organisasi, dan persekutuan seperti Uni Eropa yang menetapkan standar minimum atau peraturan yang mengatur mengenai tata cara dan sistematika pengelolaan bijih nikel. Akan tetapi, ketika membandingkan secara langsung, kondisi industri Nikel di luar negeri sangatlah berbeda dengan kondisi di NKRI. 

Regulasi dan sistem penegakan hukum Indonesia yang kurang ketat memberikan ruangan bagi pengusaha untuk mengambil jalan pintas, menghemat dana, dan mempercepat produksi tanpa mempedulikan lingkungan. 

Negara-negara luar seperti Kanada, Norwegia, dan Australia menerapkan peraturan-peraturan yang ketat, terutama mengenai pengelolaan limbah dan emisi industri nikel. Pada umumnya, regulasi tersebut mengatur mengenai perizinan lingkungan, penanganan tailing (hasil sisa atau limbah pengolahan), dan pengelolaan SDA air. Peraturan-peraturan yang didukung oleh pidana yang memberikan efek jera memastikan bahwa industri nikel di negara-negara tersebut menghasilkan bijih nikel tanpa merusak lingkungan mereka sendiri. 

Kenyataannya, di Indonesia peraturan dan regulasi seringkali melonggarkan aturan demi kepentingan masing-masing. Demi mencukupi kebutuhan investasi dan anggaran fantastis yang diperlukan industri nikel Indonesia, aturan lingkungan pun dilonggarkan agar menjadi lebih menarik bagi investor luar. Tidak jarang juga peraturan dibuat demi membantu perusahaan. Baru-baru ini, para nelayan dilarang untuk beraktivitas pada pesisir dekat pertambangan. Hal itu membuat nelayan harus pergi menuju area yang lebih jauh dan berbahaya demi mencari kehidupan. 

Permasalahan industri nikel Indonesia tidak hanya terbatas pada peraturan dan regulasi yang kurang ketat, tetapi juga karena kurangnya transparansi dan evaluasi. Meskipun hilirisasi nikel memiliki kepentingan yang tinggi, banyaknya isu-isu yang tidak penting membuat mata masyarakat jarang menyoroti praktik-praktik di perairan Halmahera. 

Kenyataannya, industri nikel Indonesia masih banyak melakukan praktik-praktik yang tidak sesuai SOP,. terutama terkait dengan pembuangan limbah. Tanpa evaluasi dan transparansi, penguasa industri nikel dapat mengumpat dan dengan seenak jidat mengeksploitasi kawasan perairan Halmahera. Kenyataannya, ketidakpedulian tersebut terjadi. Bayangkan jika Indonesia merupakan bagian dari Eropa. 

Peraturan seperti  European Green Deal dan Sustainability Accounting Standards Board (SASB) yang mewajibkan pelaporan data terkait dampak lingkungan, pastinya akan mencegah praktek-praktek pencemaran lingkungan yang dilakukan pada IWIP. Kurangnya transparansi ini benar-benar memberikan ruang gerak bagi pengelola IWIP untuk memaksimalkan produksi dan kerusakan lingkungan. 

Indonesia emas 2045 adalah sebuah tujuan yang harus dicapai Indonesia. Untuk menggapai cita-cita tersebut, Indonesia harus membangun sebuah jembatan. Jembatan yang dapat membawa masyarakat Indonesia menuju keemasan yang sama. 

Hanya saja, sebagai negara berkembang, Indonesia tidak boleh terpaku pada tahun "2045" karena semuanya akan datang pada masanya. Jika sebuah jembatan dibuat terlalu cepat, pastinya akan rapuh dan tidak bertahan lama.

 Sama halnya seperti industri nikel, tanpa perawatan yang ekstensif dalam lima tahun kedepan, perairan Halmahera akan tercemar dan rusak. Jembatan yang dibangun dengan standar yang rendah juga memberikan ruang bagi celah-celah. Sama halnya dengan industri, celah-celah itulah yang akan dimanfaatkan oleh pengelola untuk mengeksploitasi SDA Indonesia

Hilirisasi industri nikel merupakan langkah yang strategis dalam mencapai Indonesia emas 2045. Akan tetapi, transparansi dan peraturan yang kurang ketat memberikan ruang bagi pengelola untuk mengeksploitasi dan beroperasi seenaknya. Mengutamakan angka dibandingkan dengan segalanya. Oleh karena itu, sebaiknya Indonesia mulai melakukan evaluasi, restrukturisasi, dan perubahan drastis pada industri nikel agar membawa Indonesia 1 langkah lebih dekat kepada Indonesia emas 2045.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun