Tes PCR (Polymerase Chain Reaction) adalah tes untuk mendeteksi materi genetik pada suatu organisme, terutama virus. Pada masa pandemic covid-19 ini, tes PCR merupakan gold standar untuk mendiagnosa adanya virus SARS-Cov2 dengan sampel yang diambil dari swab nasofaring.Â
Tes PCR sangat sensitif sehingga dapat mendeteksi keberadaan virus SARS-Cov2 walau jumlah (viral load) nya sangat sedikit dalam tubuh penyintas. Bahkan bangkai virus pun masih terdeteksi positif pada pasien yang sudah sembuh dari penyakit Covid-19. Bagaimana para ahli menempatkan tes PCR ini, apakah lebih ke arah skrining, atau diagnostik, atau tracing? Artikel ini akan membahas sisi kebijakan menurut ilmu epidemiologi dan kebijakan politik praktis di lapangan.
PCR sebagai alat Skrining, Diagnostik, dan Tracing
Pada awalnya alat PCR di Indonesia hanya ada di litbangkes sehingga sangat sulit untuk mendeteksi suspek Covid-19. Sampel2 dari daerah harus dibawa dengan media transpor ke litbangkes. Dengan berjalannya waktu, ada beberapa RS besar yang dapat melayani pemeriksaan PCR namun harganya masih sangat mahal sekitar 1,5-2 juta.Â
Mulai pertengahan tahun 2020 sempat digunakan rapid test antibodi untuk skrining perjalanan udara namun tes ini tidak efektif untuk skrining karena indikator reaktifnya baru nyata setelah 2 minggu terinfeksi Covid-19. Akhir tahun 2020 pemerintah memberlakukan tes antigen dan genose untuk skrining bepergian antar kota, sementara itu PCR tetap hanya diberlakukan untuk diagnostik dan kasus suspek saja. Tes antigen dan genose dengan biaya yang relatif lebih murah sangat membantu untuk skrining perjalanan atau mobilitas penduduk antar kota. Walaupun kedua tes ini tidak seakurat PCR namun masih rasional untuk digunakan sebagai skrining.
Kebijakan Tes PCR untuk Perjalanan
Setelah terjadi lonjakan dahsyat gelombang kedua pada bulan Juni-Juli 2021, pemerintah memberlakukan aturan baru untuk perjalanan udara yaitu bagi yang belum vaksin atau baru 1x vaksin maka wajib tes PCR, sedangkan yang sudah vaksin lengkap cukup tes antigen saja. Kebijakan Tes PCR ini kembali berubah, pada bulan Oktober 2021 pemerintah mewajibkan semua orang yang melakukan perjalanan udara harus tes PCR tidak boleh tes Antigen, sedangkan untuk perjalanan darat dan laut tidak perlu PCR.
Kebijakan seperti ini sebenarnya tidak masuk di akal. Mengapa perjalanan udara yang lebih singkat harus tes PCR sedangkan perjalanan darat atau laut yang lebih lama tidak perlu tes PCR (hanya tes antigen saja). Bahkan untuk bus-bus masih banyak yang tidak memberikan persyaratan tes antigen, apalagi angkutan umum dalam kota.Â
Secara logika hal ini memang agak aneh seolah-olah ada faktor bisnis yang membedakan antara penumpang pesawat yang dianggap lebih kaya dibandingkan dengan penumpang bus atau kereta. Padahal bahaya transmisi penularan Covid-19 adalah sama dan bahkan di kereta/bus jauh lebih rentan dibanding perjalanan dengan pesawat yang hanya singkat.
Dan yang anehnya lagi, peraturan ini terus berubah-ubah. Dalam 1 bulan bisa muncul beberapa aturan baru dimana koordinasinya kurang baik antara menteri perhubungan, menteri dalam negeri, dan satgas Covid-19, bahkan menko Marives, dan Menko PMK juga turut mengeluarkan kebijakan tes PCR.Â
Terakhir ada kebijakan jalur darat dan laut juga diwajibkan PCR, mobil dan motor yang berjalan lebih dari 250 km wajib tes PCR atau Antigen. Sedangkan untuk penerbangan kewajiban PCR baru saja dibatalkan oleh Menko PMK awal November ini.
Hal inilah yang membuat bingung rakyat dan mempertanyakan apakah kebijakan tes PCR untuk perjalanan memang ada dasar pertimbangan epidemiologisnya atau hanya kebjikan politis semata. Dan ternyata memang ada pihak lingkar istana yang mengaku terlibat dalam bisnis PCR. Hal ini sangat memprihatinkan karena rakyat sudah menjadi korban selain karena penyakit Covid-19 namun juga secara ekonomi rakyat sangat menderita.
Peluang Bisnis Laboratorium PCR
Kasus Covid-19 yang begitu besar di semester awal tahun 2021 dan kebijakan wajib PCR untuk perjalanan membuat pelaku usaha di bidang alkes (alat kesehatan) berlomba-lomba membangun laboratorium. Banyak laboratorium-laboratorium kecil bermunculan menggunakan ruko yang memasang iklan layanan tes PCR dan tes antigen dengan harga bersaing.Â
Harga pemeriksaan tes PCR yang pada awal tahun 2020 berkisar antara Rp. 1,5-2 juta semakin menurun menjadi 900rb di semester akhir tahun 2020. Pada saat kasus Covid-19 melandai justru pemerintah mewajibkan tes PCR untuk penerbangan dan harganya ditetapkan oleh pemerintah menjadi 500rb pada bulan Agustus 2021 dan pada bulan Oktober 2021 atas instruksi presiden harganya diturunkan kembali menjadi maksimal 275rb untuk Jawa-Bali dan maksimal 300rb untuk luar Jawa-Bali.
Bagaimana pengaruh kebijakan ini terhadap penyedia jasa tes PCR? Memang pada awalnya harga reagen untuk tes PCR dari vendor itu relatif mahal. Dan tentunya juga harus memperhatikan operational cost dan modal pembelian alat PCR yang sangat mahal.Â
Dengan demand yang begitu besar maka bermunculan produsen mesin dan supplier reagen yang baru dengan harga sangat bersaing. Memang pelaku laboratorium yang sudah menggunakan mesin lama biasanya harus menggunakan reagen yang sudah terkunci (tidak bersifat open source).Â
Hal ini yang membuat pemain baru bisa menang dan meraih keuntungan besar karena mereka memiliki alat baru yang open source dan dapat menggunakan reagen dengan harga yang sangat murah. Ada laboratorium baru dengan alat PCR yang sudah balik modal hanya dalam waktu 3 bulan karena menang persaingan dalam harga modal yang murah dan volume tes yang cukup besar.
Ketetapan pemerintah melalui instruksi presiden tentang harga tes PCR kepada masyarakat ini menjadi dilematis karena tidak semua laboratorium dapat menjalankan dengan harga tersebut. Walaupun pada e-catalog LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah) ada importir reagen PCR dengan harga kurang lebih Rp. 92.500 per tes, namun reagen ini tidak bisa digunakan pada alat PCR yang tidak open source.Â
Kebanyakan orang menganggap modal PCR hanya Rp. 92.500 per tes padahal belum dihitung operasional cost dan biaya balik modal mesin PCR yang sangat mahal. Dan yang terpenting lagi tidak semua mesin PCR bisa menggunakan reagen yang ada pada e-catalog dengan harga murah. Perlu ditelisik lebih lanjut apakah kebijakan ini merupakan kartel alat PCR dan reagen murah dari supplier tertentu yang menguntungkan beberapa pihak.
Kesimpulannya, kebijakan tes PCR untuk skrining perjalanan adalah kebijakan politis yang tidak ada dasar epidemiologisnya. Penduduk Indonesia sebagian besar telah mengalami kekebalan alami karena lonjakan kasus pada bulan Juli 2021 dan cakupan vaksin yang cukup besar. Hal ini menjadikan kebijakan skrining PCR untuk perjalanan menjadi tidak bermakna apalagi kebijakan ini hanya diterapkan pada perjalanan udara dan tidak pada angkutan darat seperti bus atau kereta.
Dr. Gregory Budiman, M.Biomed
PNS Staf Pengajar FKUI (2000-2012)
Praktek Dokter Umum di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
Pengamat Pandemi Covid-19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H