Hal inilah yang membuat bingung rakyat dan mempertanyakan apakah kebijakan tes PCR untuk perjalanan memang ada dasar pertimbangan epidemiologisnya atau hanya kebjikan politis semata. Dan ternyata memang ada pihak lingkar istana yang mengaku terlibat dalam bisnis PCR. Hal ini sangat memprihatinkan karena rakyat sudah menjadi korban selain karena penyakit Covid-19 namun juga secara ekonomi rakyat sangat menderita.
Peluang Bisnis Laboratorium PCR
Kasus Covid-19 yang begitu besar di semester awal tahun 2021 dan kebijakan wajib PCR untuk perjalanan membuat pelaku usaha di bidang alkes (alat kesehatan) berlomba-lomba membangun laboratorium. Banyak laboratorium-laboratorium kecil bermunculan menggunakan ruko yang memasang iklan layanan tes PCR dan tes antigen dengan harga bersaing.Â
Harga pemeriksaan tes PCR yang pada awal tahun 2020 berkisar antara Rp. 1,5-2 juta semakin menurun menjadi 900rb di semester akhir tahun 2020. Pada saat kasus Covid-19 melandai justru pemerintah mewajibkan tes PCR untuk penerbangan dan harganya ditetapkan oleh pemerintah menjadi 500rb pada bulan Agustus 2021 dan pada bulan Oktober 2021 atas instruksi presiden harganya diturunkan kembali menjadi maksimal 275rb untuk Jawa-Bali dan maksimal 300rb untuk luar Jawa-Bali.
Bagaimana pengaruh kebijakan ini terhadap penyedia jasa tes PCR? Memang pada awalnya harga reagen untuk tes PCR dari vendor itu relatif mahal. Dan tentunya juga harus memperhatikan operational cost dan modal pembelian alat PCR yang sangat mahal.Â
Dengan demand yang begitu besar maka bermunculan produsen mesin dan supplier reagen yang baru dengan harga sangat bersaing. Memang pelaku laboratorium yang sudah menggunakan mesin lama biasanya harus menggunakan reagen yang sudah terkunci (tidak bersifat open source).Â
Hal ini yang membuat pemain baru bisa menang dan meraih keuntungan besar karena mereka memiliki alat baru yang open source dan dapat menggunakan reagen dengan harga yang sangat murah. Ada laboratorium baru dengan alat PCR yang sudah balik modal hanya dalam waktu 3 bulan karena menang persaingan dalam harga modal yang murah dan volume tes yang cukup besar.
Ketetapan pemerintah melalui instruksi presiden tentang harga tes PCR kepada masyarakat ini menjadi dilematis karena tidak semua laboratorium dapat menjalankan dengan harga tersebut. Walaupun pada e-catalog LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah) ada importir reagen PCR dengan harga kurang lebih Rp. 92.500 per tes, namun reagen ini tidak bisa digunakan pada alat PCR yang tidak open source.Â
Kebanyakan orang menganggap modal PCR hanya Rp. 92.500 per tes padahal belum dihitung operasional cost dan biaya balik modal mesin PCR yang sangat mahal. Dan yang terpenting lagi tidak semua mesin PCR bisa menggunakan reagen yang ada pada e-catalog dengan harga murah. Perlu ditelisik lebih lanjut apakah kebijakan ini merupakan kartel alat PCR dan reagen murah dari supplier tertentu yang menguntungkan beberapa pihak.
Kesimpulannya, kebijakan tes PCR untuk skrining perjalanan adalah kebijakan politis yang tidak ada dasar epidemiologisnya. Penduduk Indonesia sebagian besar telah mengalami kekebalan alami karena lonjakan kasus pada bulan Juli 2021 dan cakupan vaksin yang cukup besar. Hal ini menjadikan kebijakan skrining PCR untuk perjalanan menjadi tidak bermakna apalagi kebijakan ini hanya diterapkan pada perjalanan udara dan tidak pada angkutan darat seperti bus atau kereta.
Dr. Gregory Budiman, M.Biomed