Industri kreatif adalah sebuah industri yang mencakup berbagai sektor termasuk desain, film, fashion, hingga media digital. Di luar negeri, industri ini memainkan peran penting dalam ekonomi global dimana kehadirannya menunjukkan bentuk ekonomi yang lebih tangguh dan sejahtera, mampu mengatasi kesenjangan sosial dan pendapatan, serta meningkatkan inovasi terutama di pasar negara berkembang dan negara-negara yang rentan ekonomi (International Finance Corporation, 2024).Â
Dengan akar muasalnya yang berada dalam kombinasi antara ekspresi budaya lokal, teknologi, dan perdagangan, industri ini memiliki ciri khas sifatnya yang dinamis, yang membutuhkan strategi yang amat inovatif untuk pertumbuhan yang berkelanjutan (IEREK, 2022).Â
Berbagai kerangka kerja analitis telah diusulkan untuk memahami interaksi para pelaku utama dalam mendorong inovasi dan pengembangan dalam industri, seperti model Triple Helix (Purnama, 2023), Quadruple Helix (Mulyana, 2015), hingga Hexa Helix (Anisykurlillah, 2023). Bentuk-bentuk Helix sering menjadi gambaran wawasan yang diusulkan banyak peneliti yang tertarik akan bagaimana manajemen industri ini.
Meskipun kerangka kerja (framework) Helix menawarkan wawasan yang berguna tentang kolaborasi antar pemangku kepentingan, kerangka kerja ini sendiri tidak cukup untuk menganalisis keseluruhan ekosistem terutama apabila dikaitkan dengan nilai bisnis atau pengembangan strategis industri kreatif.Â
Model Helix ini sendiri memiliki kelemahan kekurangan basis metodologis untuk penilaian yang bersifat kuantitatif (Cai & Lattu, 2022). Dengan kata lain, framework ini belum mampu menangkap hingga kepada tahap "sungguhkah industri ini memberikan performanya".
Batasan Triple Helix dalam Menangkap Kedalaman Ekosistem Industri Kreatif
Model Triple Helix, yang diperkenalkan oleh Henry Etzkowitz dan Loet Leydesdorff (Leydesdorff, 2000), menekankan kolaborasi antara akademisi, industri, dan pemerintah sebagai kekuatan pendorong di balik inovasi dan pembangunan ekonomi.Â
Model ini khususnya amat berguna untuk industri yang mengutamakan kemajuan teknologi dan transfer pengetahuan, seperti bioteknologi atau manufaktur. Meskipun begitu, industri kreatif memiliki sistem operasional yang amat dinamis, lebih kompleks dan fluid.
Dalam industri kreatif, inovasi sering kali muncul justru dari sumber-sumber non-tradisional, seperti adanya gerakan budaya, kehadiran seniman atau artisan perorangan, dan permintaan pasar yang khusus, bukan semata-mata dari R&D formal atau inisiatif yang didorong oleh kebijakan tertentu dalam perusahaan.Â
Oleh karena itu, dengan hanya berfokus pada interaksi antara pihak akademisi, industri itu sendiri, dan pemerintah saja dapat mengabaikan pengaruh signifikan komponen-komponen seperti kreativitas di level akar rumput, tren konsumen, dan disrupsi digital-teknologi yang sering kali membentuk perkembangan industri ini.
Pendekatan Triple Helix, meskipun bermanfaat dalam memandu sektor-sektor seperti teknologi, sangat bisa missing dalam memperhitungkan faktor-faktor unik pendorong nilai kreativitas yang menggerakkan adanya inovasi dalam industri ini.
Batasan Quadruple Helix dalam Menangkap Kedalaman Ekosistem Industri Kreatif
Model Quadruple Helix adalah model yang memperluas Triple Helix dengan memasukkan masyarakat sipil sebagai pemain keempat, yang mengakui pentingnya opini publik, tren sosial, dan konten yang dibuat pengguna dalam proses inovasi.Â
Adanya penyertaan peran ini merupakan langkah ke arah yang benar, khususnya bagi industri seperti film, musik, dan game, di mana audiens dapat memainkan peran langsung dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam industri.Â
Meskipun begitu, Quadruple Helix pun dalam perkembangannya masih terbatas (Setyanti, 2017) serta dianggap kurang tepat jika diterapkan pada industri kreatif karena fondasi teoritisnya masih mengonseptualisasikan masyarakat sipil sebagai sesuatu yang agak pasif—reaktif terhadap produk atau kebijakan, ketimbang ikut menciptakannya (co-creation).Â
Kenyataannya, di lapangan sendiri, konsumen dalam industri kreatif, khususnya di era digital, sering kali menjadi peserta aktif dalam membentuk produk dan layanan. Adanya komunitas penggemar (fanbase), konten yang dibuat pengguna (user-generated content), influencer media sosial, dan kampanye pemasaran tingkat akar rumput sering kali memiliki dampak yang lebih langsung pada inovasi kreatif daripada kolaborasi formal industri-akademisi-pemerintah.Â
Oleh karena itu, meskipun Quadruple Helix memperkenalkan publik sebagai salah satu faktor dalam ekosistem, hal itu tidak sepenuhnya mengintegrasikan maupun menangkap penuh dari peran aktif konsumen dan ekosistem digital dalam mendorong nilai bisnis industri.
Pendekatan Hexa Helix yang Lebih Luas dan Limitasinya dalam Menangkap Kedalaman Ekosistem Industri Kreatif
Framework Hexa Helix menambahkan keberlanjutan (sustainability) dan terkadang teknologi sebagai faktor tambahan, dengan mengakui peran perubahan lingkungan dan teknologi dalam membentuk industri. Keberlanjutan memang merupakan pertimbangan penting dalam industri kreatif saat ini, khususnya karena mulai adanya praktik-praktik di mana konsumen menuntut produk dan praktik yang lebih sesuai dengan lingkungan (Zakaria et al, 2019).Â
Di sisi lain, teknologi telah mengubah lanskap dunia kreatif, dengan platform digital yang memungkinkan adanya bentuk-bentuk baru dari pembuatan, distribusi, dan konsumsi konten.
Meskipun begitu, Hexa Helix, dengan cakupannya yang lebih luas itu sendiri masih belum bisa menangkap kompleksitas penuh industri kreatif. Pertama, ia tidak membahas sifat atau karakteristik dari preferensi konsumen yang berubah cepat, yang dipengaruhi tidak hanya oleh teknologi dan keberlanjutan tetapi juga oleh tren budaya, keterlibatan emosional, dan gerakan sosial.Â
Hexa Helix juga tidak sepenuhnya memperhitungkan peran individual dari seniman kreatif maupun kreator individu— dimana mereka yang mungkin memang bukan bagian dari lembaga besar tetapi sangat penting dalam membentuk arah industri dengan kekuatan brand awareness yang mereka miliki.Â
Para kreator independen ini sering kali mengganggu pasar (market disruption) dengan cara yang tidak dapat diprediksi baik oleh lembaga akademis, pemerintah, atau industri mana pun.
Titik Buta (Blind Spot) Pertama yang Tidak Diperhitungkan: Sifat Dasar Industri Kreatif
Salah satu masalah utama dalam penerapan model Helix ini pada industri kreatif adalah model tersebut dirancang terutama untuk sektor-sektor yang inovasinya didorong oleh proses penelitian dan pengembangan (R&D) yang terstruktur. Industri kreatif pada kondisi sebaliknya justru berkembang pesat berkat inovasi organik yang tidak terstruktur.Â
Meskipun penelitian-penelitian akademis tentu saja dapat berkontribusi pada kemajuan kreatif, banyak terobosan dalam industri ini justru berasal dari kreator individu, tim kecil, atau gerakan budaya khusus yang beroperasi di luar lembaga formal. Mereka menjadi market-driver yang melampaui batas-batas masing-masing variabel di dalam Helix.
Sebagai contoh, munculnya para kreator konten digital di platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram telah mengubah industri kreatif secara radikal dengan menggerakkan tren atau preferensi masyarakat, tetapi jenis inovasi ini tentu tidak akan sesuai dengan kerangka kerja Helix yang harus menyertakan variabel peran akademisi, pemerintah, maupun stakeholder lainnya.Â
Kehadiran platform-platform digital ini telah memberdayakan individu untuk melewati struktur industri tradisional, yang memungkinkan bentuk-bentuk baru pembuatan dan distribusi konten yang tidak bergantung pada akademisi, industri, atau pemerintah.
Sifat dasar industri kreatif yang mampu melampaui batas-batas variabel tersebut seakan membuat akhirnya perlu ada peninjauan terhadap peran kreativitas dan hubungannya dengan inovasi dalam penerjemahan ekosistem industri ini.Â
Meskipun kreativitas sering kali menjadi komponen utama inovasi, faktor tersebut sendiri bukanlah satu-satunya fokus yang dapat diperhitungan. Industri kreatif memiliki karakteristik unik, seperti adanya manajemen hak kekayaan intelektual, fluktuasi pasar, dan pentingnya peran konteks budaya, yang mungkin tidak sepenuhnya tertangkap dalam model-model Helix ini.
Titik Buta (Blind Spot) Kedua yang Tidak Diperhitungkan: Kekuatan Pasar dan Perilaku Konsumen (Consumer Behaviour)
Faktor lain yang sering diabaikan dalam analisis ekosistem berbasis framework Helix adalah peran kekuatan pasar dan perilaku konsumen. Dalam industri kreatif, preferensi konsumen dapat berubah dengan sangat cepat, dan bisnis justru harus beradaptasi dengan perubahan ini agar tetap relevan.Â
Ini tentunya berbeda dengan industri konvensional di mana siklus R&D perusahaan atau peraturan pemerintah baru diadakan terlebih dahulu lalu kemudian digerakkan untuk mendorong inovasi. Industri kreatif secara mendasar harus sangat responsif terhadap tren budaya, umpan balik dari audiens, dan sangat mawas diri pada bentuk-bentuk gerakan viral yang ada.
Selain itu, keberhasilan produk kreatif sering kali ditentukan bukan hanya oleh nilai intrinsiknya tetapi juga oleh resonansi emosionalnya dengan audiens. Hubungan emosional ini tentunya sulit diukur atau diprediksi menggunakan model Helix tradisional, yang lebih berfokus pada kolaborasi kelembagaan daripada memahami keterlibatan subjektif dan emosional yang bahkan secara makro mendorong permintaan konsumen di sektor kreatif.
Titik Buta (Blind Spot) Ketiga yang Tidak Diperhitungkan: Adanya Gap dalam Rantai Stakeholder Hingga Kebutuhan Alat Analisis Spesifik dalam Tiap Subsektor
Model Helix sangat menekankan stakeholder-stakeholder tertentu dalam menciptakan nilai bersama maupun insight industri. Meskipun model-model ini mempertimbangkan berbagai pemangku kepentingan (pemerintah, akademisi, industri), model-model tersebut mungkin tidak sepenuhnya memperhitungkan berbagai rantai pasok pelaku maupun distribusi nilai dalam industri kreatif.Â
Ini mencakup seniman, desainer, lembaga budaya, dan perantara seperti galeri, publisher, maupun agensi yang telah dijelaskan di atas mampu menggerakkan beragam inovasi maupun tren dalam pasar.Â
Adanya faktor rantai pasok maupun distribusi nilai yang belum terpetakan penuh ini membuat akhirnya analisis ekosistem, strategi hingga penggambaran nilai bisnis industri kreatif menjadi suatu yang kompleks.
Mengingat kompleksitasnya ini, konsekuensinya, dalam menganalisis strategi dan nilai bisnis industri kreatif akhirnya memerlukan lebih banyak perangkat-perangkat analisis khusus di tiap subsektor.Â
Perangkat-perangkat tersebut misalnya, pemikiran desain (design thinking), desain yang berpusat pada manusia (human-centered design), hingga analisis tren budaya adalah metodologi yang akan lebih baik menangkap sifat inovasi kreatif yang amat berulang dan secara umum digerakkan oleh pengguna.
Pendekatan-pendekatan ini menekankan bentuk-bentuk seperti empati terhadap konsumen, pembuatan prototipe yang cepat, dan perlunya pengulangan yang konstan sebagai elemen-elemen yang sangat penting untuk keberhasilan dalam industri kreatif tetapi sebagian besar tidak ada dalam model Helix.
Selain faktor di atas, kerangka kerja yang lebih menggabungkan ekonomi, perilaku masyarakat dan antropologi budaya dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana dan mengapa konsumen terlibat dengan produk kreatif.Â
Hal ini disebabkan karena industri kreatif sangat terkait erat dengan faktor budaya dan sosial. Model-model Helix, meskipun mengakui peran pemerintah dan akademisi, tentu tidak cukup menjawab pengaruh tren budaya, nilai-nilai sosial, dan persepsi publik terhadap keberhasilan industri.Â
Adanya perangkat-perangkat yang lebih bisa mengukur perilaku dan budaya ini akan membantu perusahaan memahami tidak hanya nilai transaksional ekonomis produk mereka tetapi juga memperhitungkan nilai simbolis dan emosional, yang seringkali lebih penting dalam sektor kreatif.
Titik Buta (Blind Spot) Keempat yang Tidak Diperhitungkan: Pentingnya Dimensi Ekosistem Digital
Di era digital saat ini, industri kreatif beroperasi dalam dimensi ekosistem digital yang kompleks yang tidak sepenuhnya tercakup dalam model Helix. Adanya platform seperti media sosial, layanan streaming, dan situs web berbagi konten (web sharing-content) telah menjadi pusat bagaimana cara produk kreatif diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi.Â
Platform ini memiliki dinamika internalnya sendiri, yang masing-masingnya digerakkan oleh algoritma, data pengguna, hingga efek jaringan, yang memerlukan serangkaian alat analisis yang berbeda.
Model Helix, dengan penekanannya pada kolaborasi kelembagaan, secara mendasar tidak memperhitungkan cara platform digital mendemokratisasi industri kreatif, yang memungkinkan kreator independen untuk melewati batas-batas penjaga gerbang industri tradisional.Â
Untuk sepenuhnya memahami nilai bisnis dari industri kreatif, perusahaan perlu menganalisis dinamika platform, strategi monetisasi digital, dan penelitian pada sistem penemuan algoritmik—yang mana merupakan faktor-faktor yang berada di luar cakupan kerangka kerja Helix.
Implikasi Manajerial bagi Entitas Bisnis Terhadap Ekosistem Kreatif: Penajaman dengan Variabel-Variabel Bisnis
Dalam perspektif bisnis, adanya suatu ekosistem industri merupakan kerangka strategis untuk memahami dan berinteraksi dengan jaringan organisasi yang kompleks yang terlibat dalam penyediaan produk atau layanan tertentu.Â
Ekosistem industri ini seperti organisme hidup, di mana setiap entitas (pemasok, distributor, pelanggan, pesaing, lembaga pemerintah, dll.) memainkan peran penting dalam kesehatan dan keberhasilan sistem secara keseluruhan.Â
Adanya ekosistem yang berjalan akan membuat sebuah entitas bisnis memahami interdependensi satu sama lain yang mampu mengurangi resiko bisnis, identifikasi peluang, bentuk preventif untuk beradaptasi dengan perubahan, hingga membangun keunggulan kompetitif.
Bagi entitas bisnis sendiri, sebuah pendekatan berbasis analisis helix sendiri dapat dikatakan tidaklah cukup untuk menangkap posisinya dalam ekosistem. Untuk menganalisis strategi atau nilai bisnis dari ekosistem industri kreatif secara efektif, amat penting bagi suatu bisnis untuk melihat dengan kombinasi pendekatan-pendekatan dasar variabel bisnis seperti:
1. Analisis Budaya (Cultural Analysis): Memahami konteks budaya tempat industri beroperasi, termasuk tren, nilai, dan preferensi konsumen.
2. Riset Pasar (Market Research):Â Menganalisis tren pasar, lanskap kompetitif, dan perilaku konsumen.
3. Analisis Rantai Nilai (Value Chain Analysis): Meneliti berbagai tahap proses kreatif, dari pembuatan ide hingga distribusi, untuk mengidentifikasi area potensial yang perlu ditingkatkan.
4. Analisis Strategis (Strategic Analysis): Mengevaluasi keunggulan kompetitif industri, posisi strategis, dan potensi pertumbuhan dari bisnis.
5. Analisis Keuangan (Financial Analysis): Menilai kinerja keuangan, profitabilitas, dan peluang dari investasi industri.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, dalam sebuah kondisi dimana entitas bisnis sendiri perlu memetakan posisinya dalam industri, adanya gap-gap dalam Helix perlu dikombinasikan dengan variabel-variabel dimana keberlangsungan bisnis dapat diraih.Â
Tanpa adanya perangkat-perangkat tersebut, bukan tidak mungkin sebuah bisnis akan menjadi gambling dalam setiap proyek kreatif maupun peluncuran atau inovasi produk kreatif dalam lingkungan ekosistem yang masih belum terpetakan sepenuhnya.
Konklusi: Menata Ekosistem Industri Kreatif Melampaui Batas Framework Helix
Meskipun kerangka-kerangka kerja seperti Triple Helix, Quadruple Helix, dan Hexa Helix menawarkan berbagai wawasan berharga tentang kolaborasi antar pemangku kepentingan dan ekosistem inovasi yang ada, diketahui kerangka kerja tersebut tidak cukup untuk menganalisis strategi atau nilai bisnis industri kreatif secara menyeluruh.Â
Sebagaimana dijelaskan di atas, sektor kreatif sendiri beroperasi dengan basis yang jauh lebih fluid dan dinamis, didorong oleh tren budaya, keterlibatan emosional, dan disrupsi digital yang tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh model-model ini.
Dalam mengembangkan pemahaman yang komprehensif tentang industri kreatif, perusahaan-perusahaan kreatif dan pembuat kebijakan harus melihat melampaui kerangka kerja yang berbasis kelembagaan dan mengadopsi perangkat-perangkat yang secara khusus dirancang untuk sifat karakter dari sektor ini yang begitu cepat berubah dan amat digerakkan oleh konsumen sambil tetap memperhatikan variabel-variabel dalam bisnis.Â
Dengan menggabungkan wawasan yang bisa diambil dari perangkat-perangkat seperti pemikiran desain (Design Thinking), analisis tren budaya, dan studi ekosistem digital, para pemangku kepentingan dapat memperoleh pemahaman yang lebih akurat dan dapat ditindaklanjuti tentang nilai bisnis dan potensi strategis industri kreatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H