Beberapa waktu lalu saya sempat berdiskusi dengan rekan-rekan sekantor saya yang kebetulan adalah sesama pemilik usaha yang bergerak di industri kreatif meski dengan bidang keahlian masing-masing.Â
Seorang rekan yang bergerak di bidang animasi bercerita tentang masalah yang terjadi di studio-studio animasi di Jepang, di mana bayaran animator-animator dan apresiasi kerja yang diterima amat rendah sementara terdapat tuntutan dan burnout yang luar biasa tinggi serta asosiasi yang kurang berjalan.Â
Rekan lain yang bergerak di bidang ilustrasi dan komik juga bercerita akan kebingungannya bagaimana strategi membangun campaign dan kekayaan intelektual berikut segala masalahnya.Â
Saya pun juga akhirnya turut nimbrung dengan keluh kesah saya sendiri di bidang branding yang mulai ada tuntutan akan adanya sales penjualan yang mana hal tersebut sedikit melenceng dengan bidang saya.Â
Obrolan kami yang saling beradu curhat tersebut akhirnya membawa pada sebuah kesimpulan yang sama: industri Kreatif yang kami jalani ini produk dan teknologinya maju dan canggih, namun tidak dengan sistem dan manajemennya secara holistik.
Satu pertanyaan yang mungkin akan terlintas ketika membaca atau mendengar statement terakhir tersebut adalah "Bagaimana bisa?"Â
Dari kacamata awam pikiran kita mungkin melihat bahwa industri-industri seperti Disney yang dapat sedemikian berkembang pesat seperti saat ini. Contoh-contoh seperti anime-anime Jepang maupun perusahaan-perusahaan seperti DreamWorks, Pixar, Nickelodeon, hingga kartun Upin-Ipin sekilas seakan-akan adalah bukti bahwa industri kreatif mampu berjaya dan mendapat tempat tersendiri di pasar.Â
Namun hal semacam tersebut seakan menjadi "cover luar" saja baik di kalangan pekerjanya, sistem industrinya hingga manajemennya. Sebagaimana industri konvensional memiliki cerita "undercover"nya, di sini industri kreatif pun juga memiliki ceritanya yang tak kalah perlu mendapat perhatian.Â
Beberapa contoh di atas yang dicurhatkan masing-masing rekan dan saya sendiri adalah contoh cerita dibalik layar. Hal-hal semacam eksploitasi, kesejahteraan, hingga momok kesehatan mental yang menghantui adalah sebagian dari penampakan "hilir" masalah yang lebih mendalam.
Saat saya mencari artikel-artikel mengenai sumber yang dapat menunjang asumsi masalah berdasarkan kesimpulan kami di atas, saya menemukan beberapa poin-poin menarik mulai dari studi yang dilakukan Adobe, Marketing Interactive Singapura, PBB hingga beberapa jurnal lain tentang industri kreatif mengapa manajemen dan sistemnya bisa dikatakan tidak saling terhubung (disconnected) dan malah dapat dikatakan outdated.Â
Adapun ringkasan singkat dari beberapa faktor masalah yang ditemukan adalah:
1. Sifat dari "Kreativitas" Itu Sendiri
Karya kreatif sering kali tidak dapat diprediksi dan subjektif, sehingga menyulitkan pengembangan proses dan prosedur standar. Hal ini dapat menyebabkan silos atau elemen yang saling tidak terhubung dalam organisasi, di mana berbagai departemen atau tim mempunyai cara masing-masing dalam melakukan sesuatu.Â
Valuasi dari kreativitas itu sendiri sampai saat ini menjadi topik riset yang masih terus dikembangkan maupun topik diskusi yang terus berjalan.Â
Dari aspek finansial sendiri, kreativitas ini merupakan aset tak berwujud yang sulit untuk diterjemahkan dalam mata uang kecuali jika terdapat konversi menuju hal-hal seperti perlindungan paten, dan hal semacam ini berpeluang untuk pihak-pihak lain memandang rendah proses kreativitas sebagai hal yang murah maupun tak bernilai sama sekali.
2. Laju Perubahan yang Semakin Cepat
Industri kreatif terus berkembang, dengan teknologi, platform, dan tren baru yang bermunculan setiap saat. Hal ini dapat mempersulit sistem manajemen untuk mengikuti perkembangannya, sehingga menyebabkan proses dan alat yang ketinggalan Zaman menjadi tidak efektif lagi.Â
Ini akhirnya sering kali membuat fokus manajemen perusahaan kreatif sering kali lebih kepada bagaimana penyesuaian diri kepada teknologi baru ketimbang kepada strategi pengembangan kapabilitas perusahaan termasuk dalam analisis maupun R&D mendalam atas strategi perusahaan, desain produk dan realisasi teknologi.
3. Kurangnya Pelatihan Khusus pada Manajerial
Dalam industri kreatif, sebenarnya ditemui fenomena kurangnya pelatihan khusus bagi para manajer di industri kreatif, yang berarti bahwa mereka mungkin tidak memiliki keterampilan atau pengetahuan yang diperlukan untuk mengembangkan dan menerapkan sistem manajemen yang efektif.Â
Manajer dalam industri kreatif memerlukan bukan hanya skill yang dimiliki industri konvensional pada umumnya mulai dari efisiensi keuangan, dasar pengelolaan sumber daya manusia, pengetahuan organisasional, tetapi mampu menjembatani dan menerjemahkan variabel-variabel laten yang menjadi ciri khas industri kreatif seperti risiko dari eksperimen kreativitas, konversi dari ide menjadi produk yang mampu menghasilkan sumber pendapatan efektif, hingga manajemen sumber daya manusia yang memperhatikan aspek talenta artistik yang produktif maupun potensial.Â
Di tingkat manajerial, para manajer kreatif sendiri pada akhirnya membutuhkan cara-cara mengukur dan mengevaluasi karya kreatif dikarenakan karya kreatif sering kali bersifat subjektif dan sulit diukur.
Itu menyulitkan untuk menilai apakah tim yang dibangun mencapai tujuan mereka atau tidak, cara memotivasi dan mempertahankan bakat kreatif yang mana orang-orang kreatif sering kali menghargai otonomi dan kebebasan yang sulit diselaraskan dengan kebutuhan akan manajemen dan pengendalian perusahaan, hingga bagaimana menyeimbangkan kebutuhan berbagai pemangku kepentingan baik kebutuhan klien, karyawan, dan investornya. Hal ini bisa menjadi tindakan penyeimbang yang rumit.
Berdasarkan ketiga hal yang menjadi sumber permasalahan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa tantangan terbesar secara menyeluruh dalam pengelolaan industri kreatif dapat dirumuskan sebagai penyeimbangan kebutuhan akan keteraturan dan struktur dengan kebutuhan akan kreativitas dan inovasi.Â
Organisasi kreatif harus mampu mengendalikan biaya, mengelola sumber daya, dan memenuhi tenggat waktu, namun mereka juga harus mampu menumbuhkan budaya inovasi dan pengambilan risiko.Â
Dalam hal ini, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan sistem manajemen industri kreatif, seperti investasi pada pelatihan dan pengembangan proses kreatif, penyederhanaan operasional lewat teknologi, penanaman budaya inovasi yang eksperimen, berani mengambil risiko namun juga dapat dipertanggungjawabkan.Â
Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini dan menerapkan praktik manajemen yang efektif, organisasi kreatif dapat berkembang dalam lingkungan yang kompetitif dan selalu berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H