Di Olimpiade Paris 2024, masalah perbedaan gender, terutama dalam tinju, telah menjadi perbincangan hangat. Di acara atletik terkenal ini, suasana menjadi tidak tenang karena kontroversi terkait dua atlet, Imane Khelif dari Aljazair dan Lin Yu-Ting dari Taiwan, yang masih berkompetisi sebagai wanita meskipun diduga memiliki kromosom XY. Bagaimana kita bisa menangani keadaan ini? Apakah mungkin ada cara baru untuk menyelesaikan masalah ini menggunakan nilai-nilai utama Indonesia, yaitu kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keseimbangan, dan keadilan?
Perbedaan gender dalam olahraga, seperti tinju, memerlukan solusi yang dipikirkan secara mendalam. Kita dapat menangani ketidaksetaraan ini dengan lebih humanis dan inklusif dengan menggunakan lensa pancasila. Oleh karena itu, untuk menciptakan aturan yang adil dan transparan, penting bagi akademisi, masyarakat luas, dan stakeholder olahraga untuk berbicara secara terbuka. Ini adalah satu-satunya cara untuk mendorong keadilan dan inklusi dalam olahraga, sehingga setiap atlet---tanpa memandang jenis kelamin atau karakteristik biologi---bisa berkompetisi dengan aman dan hormat. Dengan menggunakan pancasila sebagai pedoman moral dan etis, artikel opini ini bertujuan untuk memberikan perspektif yang lebih luas dan bijaksana tentang cara menyelesaikan masalah perbedaan gender di arena tinju Olimpiade Paris 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H