Penulis pada artikel ini berusaha untuk memberikan beberapa solusi agar setiap generasi pekerja dapat bekerja sama dan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang pekerja. Maka daripada itu, penulis mengajak saudara - saudari semua untuk memahami secara praktikal bagaimana masyarakat Gen-Z dalam bekerja.
Melek Teknologi
Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Gen-Z merupakan generasi pekerja yang sangat terampil dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi. Seperti yang penulis sampaikan pada bagian sebelumnya, bahwa masyarakat Gen-Z hidup berdampingan dengan perkembangan teknologi itu sendiri. Perkembangan gawai bahkan sistem yang berada dalam sebuah teknologi informasi dan komunikasi dapat dipahami dengan mudah oleh Gen-Z.Â
Di Indonesia, sebanyak 33% Gen-Z menghabiskan lebih dari enam jam untuk mengakses media sosial, dengan total keseluruhan waktu penggunaan gawai selama delapan setengah jam untuk satu hari (Kim et al., 2020). Sehingga atensi masyarakat Gen-Z terhadap digitalisasi cukup tinggi. Pemahaman digitalisasi oleh Gen-Z kurang lebihnya dapat dilihat melalui fenomena pemilihan presiden pada awal tahun 2024 ini.Â
Sebagai catatan, penulis tidak akan menunjukan keberpihakan terhadap calon presiden manapun pada artikel ini. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa Gen-Z memiliki kontribusi yang tinggi dalam pemilihan presiden di tahun 2024 ini, melalui media digital terutama sosial media Instagram.Â
Masyarakat Gen-Z memiliki kecenderungan untuk mencari berbagai informasi daripada calon presiden dan wakil presiden melalui media sosial Instagram (Fitri et al., 2023). Sehingga kontestasi pemilihan umum pada awal tahun 2024 ini, cukup diwarnai dengan adanya kehadiran masyarakat Gen-Z karena eksistensinya melalui media sosial.
Peka Terhadap Situasi Sekitar
Masyarakat Gen-Z pada dasarnya memiliki tingkat sensitivitas dan sudut pandang yang cukup berbeda terhadap memahami kondisi organisasi masyarakat ataupun pekerjaan. Mungkin apabila saudara - saudari sekalian melihat bahwa masyarakat Gen-Z merupakan tipikal angkatan kerja yang gemar selektif dalam menentukan kondisi organisasi pekerjaan, itu adalah fakta. Karena pada dasarnya masyarakat Gen-Z Â akan memilih tempat bekerja yang dapat mengembangkan potensi serta mendukung dalam kesuksesan dan porsi pekerjaan yang adil. Namun mayoritas organisasi pekerjaan memiliki pandangan yang cukup berbeda, dengan masyarakat Gen-Z. Cara pandang organisasi pekerjaan adalah mengkondisikan para pekerjanya untuk dapat adaptif dengan peraturan organisasi, dan bukan organisasi yang menyesuaikan dengan keinginan daripada pekerjanya. Dengan kondisi yang demikian, masyarakat Gen-Z secara mayoritas (69%) sangat setuju dengan adanya work life balance dalam euforia pekerjaannya (Sanita, 2023).Â
Perkembangan teknologi juga mempengaruhi preferensi masyarakat Gen-Z dalam menentukan ruang kerjanya. Masyarakat Gen-Z meyakini bahwa pekerjaan adalah sebuah tanggung jawab yang harus selesai sesuai dengan porsinya. Sehingga pekerjaan tidak terbatas dengan ruang - waktu, dan dapat dikerjakan di mana saja (Seek Perusahaan, n.d.). Penulis kerap melihat rekan - rekan Gen-Z melakukan aktivitas pekerjaan di cafe - cafe kekinian, bahkan tidak jarang yang melakukan rapat secara daring di cafe - cafe tersebut.Â
Dan yang terakhir adalah fenomena "kutu loncat perusahaan" yang telah ter stereotip oleh angkatan kerja yang lebih senior. Melihat daripada sudut pandang masyarakat Gen-Z bahwa durasi yang ideal seseorang dalam meniti karir sangatlah beragam, ada yang beranggapan bahwa waktu yang ideal adalah 1 hingga 2 tahun, namun ada yang beranggapan bahwa 3 sampai 6 tahun adalah waktu yang ideal (Sanita, 2023).Â
Fenomena seperti ini agaknya membuat pola pikir generasi pekerja yang lebih senior beranggapan, bahwa masyarakat Gen-Z memiliki tingkat loyalitas yang rendah. Sehingga ketika berada di ruang kerja profesional, masyarakat Gen-Z memiliki kecenderungan untuk mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan daripada generasi senior.Â