Adalah kebiasaan kita untuk mengunjungi sebuah tempat dengan pemandangan yang bagus. Di sana kita 'betah' untuk tinggal barang sesaat lamanya.Â
Memanjakan mata yang selama ini terkotak dengan gambar yang itu-itu saja, dengan suguhan baru yang disajikan alam sebagai karya original atau pun yang dibentuk manusia lainnya.Â
Tapi jangan salah, alih-alih ingin memanjakan mata dan rehat fisik, banyak kali juga terjadi itu dijadikan referensi dialog supaya tidak kelihatan 'jarang piknik'.
Ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan. Pertama, kita menginginkan sesuatu yang baru. Bagi kita yang tinggal di desa, misalkan, ketika tiba di kota akan memandang kota sebagai tempat indah, karena dipenuhi dengan bangunan-bangunan dan kendaraan.Â
Sebaliknya, kita yang tinggal di kota akan sangat suka dengan iklim di desa yang tenang dan bersih. Kita bukannya tidak suka dengan keadaan awal kita, tetapi sepertinya kita lekas jenuh dengan sesuatu yang sama yang disodorkan ke mata dan kepala kita setiap hari. Sesuatu yang baru pasti akan menarik perhatian kita.
Apakah ini akan berakhir ketika sesuatu yang baru ditemukan? Tidak akan. Ketika penemuan itu terjadi, dunia kita mulai membentuk ulang sebuah pemahaman akan sesuatu yang baru setelah dijejali dengan bentuk baru tersebut.
Sebenarnya, tidak akan ada kepuasan dalam arti sesungguhnya bagi kita. Pencarian demi pencarian selalu tidak ada batasnya. Ditemukan, dilepaskan, dicari yang lain.
Apakah ini berkaitan dengan konsistensi mempertahankan? Itu perkara lain lagi. Jika kita telah membuat sebuah kesepakatan andata kita dengan diri kita sendiri tentang sesuatu yang harus kita genggam, kita dengan segala kedewasaan yang kita miliki akan berusaha menjaganya sampai kapan pun.Â
Atau bila kita setelah mengenal sesuatu yang baru tetapi masih tetap 'cantol' dengan keadaan atau kondisi awal kita maka kita sadar bahwa penemuan akan melahirkan pencarian baru.
Kedua. Sejak teknologi belum menjadi ratu seperti sekarang ini, kita benar-benar membiarkan diri kita berada dalam pelukan pemandangan yang bagus itu.Â
Membiarkan dia tetap di sana sambil kita begitu larut dalam ketakjuban dan kedamaian. Kini, pemandangan yang bagus seolah-olah hanya menjadi latar belakang dari kita.Â
Kamera diarahkan, kita menjadi tujuan dan pemandangan menjadi lukisan di belakang. Mungkin saja kita egois karena tidak membiarkan pemandangan itu sebagaimana adanya.Â
Atau bahkan kita ingin memberitahu dunia dengan postingan di media sosial, bahwa kita sudah menginjakkan kaki kita di sebuah tempat yang viral atau baru sama sekali.
Apakah benar kita tidak memerlukan sebuah latar yang bagus? Tidak benar. Kita bahkan membutuhkannya setiap saat. Kita ingin sesuatu yang indah dalam hidup kita.Â
Masalahnya bisa jadi terletak pada pemikiran bahwa kita adalah pelaku tunggal yang membuat sebuah tempat dikenal atau harus ada legitimasi dari pihak kita.Â
Yang benar saja? Mau didatangi atau tidak sebuah pemandangan yang bagus tetaplah bagus dari asalnya. Tidak perlu pengakuan dari kita pun.
Ketiga. Jika ada pemandangan yang bagus, apakah ada pemandangan yang tidak bagus? Saya tetap pada pendirian saya bahwa semua pemandangan yang menghantam mata kita, memberi kita kesan yang bagus.Â
Semua pemandangan itu bagus karena menceritakan sesuatu. Tidak ada pemandangan yang tidak bagus atau buruk. Sebab, jika buruk, untuk apa ini semua ada?Â
Jika buruk, untuk apa kita juga ada? Atau sebenarnya bukan sebuah pemandangan yang bagus atau tidak bagus tetapi pemandangan sebagaimana adanya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H