Mohon tunggu...
Gregorius Agung
Gregorius Agung Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Penggemar kereta api, pesawat dan Formula 1

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menemukan Toleransi di Penjara Suci

19 November 2024   19:14 Diperbarui: 19 November 2024   19:24 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Orang yang minim toleransi pasti sering hidup di lingkungan yang homogen, sehingga gagap pluralisme."
-Pandji Pragiwaksono

Menghargai sesama dan saling memaklumi sepertinya semakin susah ditemukan di kalangan masyarakat di zaman sekarang ini, terlebih soal agama. Kita telah melihat bagaimana intoleransi serta konflik agama di seluruh dunia dapat melumpuhkan suatu negara dan memisahkan opini masyarakat. Indonesia pun juga tidak luput dari fenomena sosial ini. 

Beberapa dekade terakhir telah menunjukan masyarakat Indonesia yang semakin radikal, ditandai dengan berbagai ormas-ormas agama yang meresahkan dan pembakaran atau perusakan beberapa tempat ibadah. Sungguh ironis bahwa negara yang disebut sebagai "pancasilais" mempunyai populasi yang menentang persatuan dan perbedaan.

Mungkin anda pernah meluangkan waktu di kolom komentar sosial media lalu menemukan beberapa istilah ujaran kebencian agama seperti "cancer", "teroris", "tumor", dan lain sebagainya. Sebagian besar dari anda mungkin tidak akan berpikir jauh dan mengabaikannya secara mentah-mentah. Akan tetapi, sebagian orang mungkin mengambilnya secara serius atau terluka mendengar perkataan tersebut. Akhirnya, mereka sendiri juga jatuh dalam siklus saling membenci. 

Tanpa disadari hal kecil yang kita telah saksikan ini merupakan salah satu bentuk dari intoleransi di tengah masyarakat, yang apabila tidak terselesaikan berpotensi memicu perpisahan yang lebih besar.

Intoleransi adalah bentuk berlawanan dari toleransi. Poerwadarminta (2000) menyatakan bahwa toleransi adalah sikap membolehkan, menghargai, dan memaklumi pendapat orang lain yang berbeda dengan prinsip hidup diri sendiri. 

Toleransi adalah bagaimana masyarakat hidup secara berdampingan atau mencapai co-existence dengan batasan tertentu. Intoleransi tidak seperti itu, melainkan ia adalah sikap yang menjunjung tinggi egoisme dan pribadi yang tertutup.

Seorang intoleran bisa muncul karena adanya faktor lingkungan dan pendidikan yang mempengaruhi pembentukan karakter. Lingkungan yang tertutup dan pendidikan budaya yang minim memungkinkan seseorang untuk lebih mudah berprasangka dan menanamkan stereotip pada kelompok-kelompok tertentu. Dalam konteks agama terlebihnya, dapat juga diartikan bahwa seseorang yang intoleran bisa terbentuk karena kekeliruan dalam menjalankan kepercayaannya (Kamaluddin dkk., 2021).

Mengetahui hal ini, muncul sebuah pertanyaan: apa yang selama ini kita lakukan untuk memaknai perbedaan?

Ekskursi Sebagai Jembatan Perbedaan

Pada tahun 2024 ini, saya diberi kesempatan untuk mengikuti kegiatan ekskursi agama ke Pondok Pesantren Nur El Falah di Serang, Banten. Saya bersama rombongan Kanisian menjalani kehidupan disana selama 3 hari dan 2 malam. Tujuannya? berdialog dengan teman-teman yang berbeda agama dan memaknai setiap dinamika yang ada. Kami para siswa diharapkan bisa menjadi manusia yang terbuka dan saling menerima di masa depan.

Tentu saja, sebelum memulai ekskursi agama ini saya tidak luput dari berbagai prasangka dan pikiran-pikiran buruk hasil imajinasi saya. Mengingat lokasinya yang berada di Banten, awalnya saya merasa agak khawatir dengan apa yang saya akan jumpai disana. Banten di mata beberapa orang distereotipkan sebagai pencetak berbagai oknum aliran garis keras di Indonesia. Saya berpikir: apa yang saya akan jumpai disana? apakah pesantren yang saya akan kunjungi beraliran garis keras?

Namun, kekhawatiran tersebut hilang seketika setelah menginjakan kaki untuk pertama kalinya di Pondok Pesantren Nur El Falah. Saya dan salah satu teman saya adalah yang paling pertama turun dari bus kami. Disambut dengan hangat oleh pak Ustadz, kami dan rombongan diarahkan menuju ruang auditorium untuk melakukan proses orientasi di pondok pesantren. Santri dan santriwati di sana sangat ramah dan bisa diajak berkomunikasi layaknya teman dan saudara sendiri.

Salah satu aksi keramahan ini ditunjukan ketika saya ditawarkan untuk makan ikan tongkol bersama mereka. Penyajiannya cukup sederhana, tidak ada sendok atau piring, hanya nasi dicampur dengan ikan. Namun, tidak disangka bahwa dengan makan bersama, kita mulai terbuka dengan sesama. Secara tidak sadar, saya seketika lupa semua dengan tujuan mengapa saya dikirim ke tempat ini. Kami bergaul layaknya teman yang sudah lama kenal, meskipun realitasnya kita baru saja bertemu.

Kehidupan di Pesantren

Kehidupan di pondok pesantren sangat berbeda dengan sekolah biasa pada umumnya, baik negeri maupun swasta. Ada beberapa yang menyebut pondok pesantren sebagai "penjara suci". Dan saya bisa mengatakan: ya, memang seperti itulah kenyataan yang ada. Setiap hari santriwan dan santriwati diwajibkan untuk beribadah, mengaji, dan sholat setiap hari ditambah dengan berbagai aturan yang mengikat kehidupan di pesantren. 

Saya sebagai seorang Katolik yang saat ini disekolahkan di institusi Katolik juga merasa seperti itu. Saya secara tidak langsung juga berada di sebuah "penjara" yang dimana saya harus berjuang mempertahankan nilai akademik di lingkungan yang sangat kompetitif, demi memperjuangkan masa depan yang bahkan tidak tentu.

Di mata orang yang tidak tahu apa-apa, menjalani kehidupan seperti ini mungkin dianggap "tidak sehat secara mental". Tapi saya tidak setuju. Justru dengan kegiatan ekskursi agama ini saya merasa semakin dekat dengan Tuhan dan rehat sejenak secara batin, lihatlah dunia yang sesungguhnya, penuh dengan warna-warni kehidupan. Saya kagum dengan rasa solidaritas yang ada di Pondok Pesantren Nur El Falah. 

Hidup mereka teratur tapi bisa mengekspresikan dan saling mendukung sesama teman.

Selain beribadah, sebagian besar dari santriwan dan santriwati diajarkan berwirausaha serta kemampuan praktikal. Hal ini reflektif dari materi yang diajarkan. Saya melihat bahwa mereka mempunyai tempat lokakarya atau sering disebut dengan workshop, baik itu membuat mesin ataupun menjahit.

 Tidak hanya itu, mereka juga mempunyai IPTEK yang sangat maju. Sebagai contoh, mereka mempunyai sistem kartu pembayaran yang bisa digunakan dimana saja dan terhubung dengan orang tua. Menurut saya, ini sangat hebat dan belum saya temukan di sekolah manapun.

Kesamaan di Tengah Perbedaan

Menurut saya, ekskursi agama ini menjadi sebuah jendela ke dunia lain, dunia yang jarang sekali terlihat. Saya sebagai penganut agama Katolik telah dibesarkan di sekolah, lingkungan, dan etika Katolik hingga saat ini. Mungkin hal yang serupa bisa dikatakan bagi santriwan dan santriwati yang tinggal di Pondok Pesantren Nur El Falah.

Saya semakin sadar bahwa meskipun kita masyarakat yang berbeda secara agama dan budaya, kita adalah sama-sama manusia dari dalam. Toleransi dapat dimaknai dengan melihat diluar batas-batas abstrak maupun fisik. Menemukan toleransi sebenarnya tidak perlu dicapai dengan melakukan ekskursi agama, kita bisa menemukan toleransi dimana saja dan kapan saja dengan melakukan hal-hal kecil sederhana yakni dengan mulai terbuka. 

Mulailah berbicara dengan orang lain yang berbeda keyakinan, ajak mereka untuk berdialog dan dengan itu, toleransi dan saling memaklumi akan terbentuk dengan sendirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun