Kehidupan kami aman dan nyaman saja. Hingga suatu waktu, terjadilah hal yang lumayan 'panas' di dalam rumah kami.Â
Kakak laki-laki yang nomor 3 ingin menikah seusai tamat SMA dengan gadis pilihannya yang masih sama-sama tinggal di satu kampung.
Ayah setuju saja, tetapi ibu sangat menentang hingga meradang. Alasannya hanya dua. Pertama, kakak laki-laki nomor 1 dan 2 belum menikah. Jadi harus antri, kira-kira demikian.Â
Alasan kedua, Ibu ingin agar kakak nomor 3 juga bisa kuliah seperti kakak nomor 1 dan nomor 2. Ia tak ingin membedakan anak-anaknya dalam urusan sekolah.
Ayah tetap memaksa  lalu pergilah mereka bersama satu rombongan kecil untuk melamar anak gadis pilihan kakak nomor 3 itu. Ibu tidak ikut serta dan tetap menolak.
Setelah lamaran, datanglah sang menantu. Ia mencoba memeluk ibu mertuanya, namun ditepis. Dan sang anak mantu pun merenggangkan pelukannya. Ibu mertua belum mau menerimanya.
Jadi Anak Mantu Kesayangan
Pendekatan anak mantu yang penuh kasih akhirnya meluluhkan hati mertua yang keras hati. Bahkan kemudian menjadi anak kesayangan di dalam keluarga besar kami.
Setelah resmi menikah, kakak nomor 3 dan isterinya tinggal sendiri. Membuat satu rumah sederhana yang letaknya masih di samping rumah keluarga kami.
Sekalipun mereka tinggal sendiri di rumah, kakak ipar kami tidak mau memasak sendiri di rumah mereka. Ia memilih untuk memasak di dapur  utama. Makan pun sama-sama di rumah tua.Â
Sejak kehadirannya, semua kegiatan masak-memasak diambil alih oleh anak mantu. Meskipun demikian, tak lupa ia berkomunikasi dengan ibu tua alias mertua, apa yang harus dimasak untuk siang dan malam.
Tak berselang lama, komunikasi antara anak mantu dan mertua mulai lancar. Ibu lebih banyak membiarkan anak mantu memasak. Sementara ia lebih asyik menenun kain NTT di pondok tenunnya.