Biaya hidup seperti sekolah putri semata wayang, Â kesehatan, kebutuhan akan sandang dan hiburan juga menjadi perhatian. Karena mereka pun membutuhkan uang.
Namun  mereka tak ingin mengambil untung sebanyak-banyaknya. Cukuplah untuk membeli bahan-bahan makanan untuk usaha warung makan. Lalu ada kelebihan untuk biaya hidup keluarga.
Harga makanannya yang paling murah, menjadikan makanan di warungnya cepat habis sebelum maghrib. Pelanggannya bukan hanya mahasiswa sekitar Bafak. Ada yang dari Babakan Peundeu, Tegal Manggah, Cidangiang atau Ciwaluya.
Prinsip kedua, berbagi rasa. Sekalipun banyak pembelinya, pemilik warung berjasa Bu Sholeh dan Pak Sholeh lumayan banyak mengenal nama.  Juga asal daerah mahasiswa yang sering beli nasi bungkus di sana
Apalagi orang model seperti saya. Berkulit hitam, rambut keriting dan sering telat bayar uang makan sampai satu bulan.Â
Bu Sholeh tak pernah menagih. Biasanya seminggu sekali saya update saldo dalam buku. Masih plus berapa atau sudah minus berapa.
"Nggak apa-apa Aris, nanti aja kalau sudah ada uangnya", kata bu Sholeh sambil tersenyum.  Bahkan seringkali ia membungkuskan gorengan seperti bakwan atau krupuk untuk dibawa pulang ke kos.
O, ya. Bu Sholeh memanggil saya dengan nama Aris. Beliau sulit menyebut nama Goris. Jadilah, saya dipanggil "Aris" oleh Bapak dan Bu Sholeh. Di-Sunda-kan. Ya, sudah sehendak hati bu ajalah, hehehe.Â
Gegara itu, teman sekos asal Kerawang sering bilang kalau beli mah nitip aja sama si Aris, anak kesayangannya Bu Sholeh. Â Banyak gratisnya....! Entah dimana tuh si Joni Surya yang satu ini, teman sekos di Bafak dahulu.