Ada dua kegiatan besar dalam acara tahan feu, yaitu kegiatan memasak dan kegiatan makan baru (tah feu). Karenanya kegiatan ini pun sering dinamakan tah feu.Â
Sebelum acara makan bersama, diawali dengan acara pengurapan tangan dan dengan demikian, pertanda bawah yang telah mendapatkan pengurapan di tangan sudah sudah untuk makan jenis makanan baru yang baru saja dipanen.Â
Setiap tahun ada dua kali tradisi tahan feu. Acara tahan feu pertama adalah ketika tanaman jagung para petani sudah bisa dimakan. Anak, cucu dan keluarga akan datang ke rumah adat membawa jagungnya. Dimasak lalu dimakan bersama setelah ada upacara pegurapan telapak tangan.
Tahan feu kedua adalah setelah panen padi dan musim kacang turis atau kacang gude sudah bisa dipanen untuk dimasak. Di Biboki, kacang gude biasa dimasak bersama dengan nasi atau jagung yang dinamakan jagung katemak.Â
Kata-kata yang disampaikan oleh tua adat dalam tuis nimaf (pengurapan tangan) biasanya sama. Namun mengadung beberapa makna sebagai berikut:
- Pertanda orang yang diurapi telapak tangannya sudah boleh makan hasil panen baru dalam tahun berjalan. Pangan yang biasa dimakan setelah melalui tradisi ini adalah nasi dari beras ladang dan kacang turis atau gude.
- Diingatkan untuk tidak mengambil milik orang dalam perjalanan. Dengan kata lain, tidak mencuri milik orang.Â
- Dengan adanya tusi nimaf, seseorang yang mendapatkan pengurapan di telapak tangannya akan direstui oleh leluhur untuk bekerja lebih rajin dan mendapatkan hasil yang lebih banyak lagi.
Demikian tradisi tahan feu dan tah feu yang masih dipertahankan di kampung saya, Biboki. Semoga tetap dilestarikan dari generasi ke generasi, termasuk pesan moral yang terkandung di dalamnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H