Upah nominal harian buruh tani nasional versi BPS per Desember 2021 adalah sebesar Rp 57.180. Namun di sebagian besar daerah malah mematok Rp 50.000, bahkan kurang daripada itu. Sementara, upah nominal harian buruh bangunan lebih tinggi, yaitu Rp 91.335 per hari.
Sementara upah rata-rata perjam buruh pabrik memang cukup bervariasi antarprovinsi. Data BPS tahun 2022 untuk dua provinsi, DKI Jakarta Rp 32.685 per jam dan NTT adalah Rp 13.012 per jam.
Jika rata-rata buruh pabrik bekerja selama 8 jam perhari, maka di Jakarta bisa mendapatkan upah sebesar Rp 261.480 per hari. Sementara di NTT memperoleh Rp 104.096 per hari.
Memang, semua ketentuan tersebut lebih banyak tertera di atas kertas. Praktiknya, masih banyak yang tidak sesuai. Namun terpaksa diterima karena alasan membutuhkan pekerjaan, biaya hidup yang mendesak dan memang sulit mendapatkan pekerjaan dengan gaji di atas UMR dan standar yang berlaku.
Bisakah Memperbaiki Nasib Buruh Tani Kita?
Kembali lagi ke buruh tani. Bisakah buruh tani kita diperbaiki nasibnya? Tentu saja bisa, bahkan harus. Bukankah pembangunan ini ditujukan untuk seluruh bangsa Indonesia? Kita punya para pemikir humanis yang duduk di kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Mulai dari level daerah hingga tingkat nasional.Â
Namun lagi-lagi, pembagian kue pembangunan masih sering tidak adil. Dan hemat saya, salah satu kelompok yang kurang diberi kue pembangunan adalah dari kaum buruh tani.
Bagi para buruh di pabrik, syukurlah karena hampir setiap pabrik atau perusahaan memiliki persatuan buruh bernama serikat pekerja. Melalui organisasi ini, kaum buruh menyatukan kekuatan untuk menyampaikan segala aspirasi terkait dengan hak-hak mereka kepada perusahaan.
Sementara buruh tani tidak memiliki organisasi yang bisa mengatur mereka. Dengan pekerjaan yang sifatnya musiman, mereka kemudian terkonsentrasi untuk bekerja secara musiman saja.
Beberapa bulan yang lalu, saya ditelpon oleh salah satu sahabat yang bekerja di kebun sawit di Provinsi Riau. Ia tergolong dalam lingkup manajemen.