Mohon tunggu...
Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Mohon Tunggu... Petani - Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Utusan Pipit Mati Dikeroyok Sepasang Elang

30 April 2023   10:09 Diperbarui: 30 April 2023   12:03 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto:id.lovepik.com

Seekor pipit muda dipanggil menghadap oleh raja para burung. "Kemarilah wahai pipit muda",  titah sang raja dengan suara yang berwibawa.

Sang pipit muda pun beranjak mendekat. Menghaturkan sembah lalu berkata, "Ini aku tuanku. Katakanlah, apa kiranya yang harus hamba lakukan".

"Wahai anak muda, Anda dipanggil untuk suatu tugas yang maha penting", sahut sang raja tanpa beringsut dari singgasananya. Tampak di depan singgasana, seluruh menteri duduk dengan tertib.

Sementara, di sayap kanan para penasehat raja pun terlihat duduk di tempatnya. Masing-masing hadir dengan menggunakan pakaian kebesaran dan tanda jasa yang tersemat pada pakaian mereka.

"Seperti yang kita ketahui bersama, negeri kita sedang dalam kondisi tidak sehat". Lanjut sanga raja, korupsi terjadi dimana-mana. 

Para wakil burung tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka bahkan memanfaatkan posisinya untuk menangguk keuntungan berlipat ganda. 

Pungutan tak resmi ada dimana-mana. Pajak yang seharusnya diserahkan kepada negara, digelapkan. Dimanipulasi, money laundry. Negara kita sungguh sangat rugi akhir-akhir ini. 

Pejabat dalam kerajaan kita, sudah tak malu lagi melakukan tindakan korupsi dan berkolusi untuk mendapatkan sesuatu yang tidak benar. 

Demikian sang raja berkata dengan suara yang pelan, tetapi terdengar dengan jelas di seantero ruangan istana. Sebab, istana sunggu sepi karena mendengarkan titah sang raja. 

Sang pipit muda pun melakukan sembah. "Mohon maaf atas kelancangan hamba yang berani menyela titah sri baginda. Adakah tugas yang perlu hamba lakukan? Niscaya, jiwa dan raga taruhannya pun hamba bersedia". 

Sepasang elang (dok foto: unplash.com/Ray Hennessy via idntimes.com)
Sepasang elang (dok foto: unplash.com/Ray Hennessy via idntimes.com)

"Pergilah kepada elang yang menjaga perbatasan negara kita. Mereka adalah kelompok burung yang paling banyak melakukan pembangkangan.

 Mentang-mentang kuat, punya power dan banyak anggotanya, maka mereka membuat diri seolah-olah menjadi negara di dalam negara. 

Saya telah mendengar, bahwa mereka sangat arogan. Sering mematuk burung lain yang lebih lemah dengan paruh mereka yang tajam seperti pisau itu. Juga kadang mencakar dan mencengkeram saat tak diberikan kesempatan kepada mereka. 

Katakanlah kepada elang agar segera menghentikan perilaku yang melanggar hukum kita. Sadarkanlah mereka untuk tidak bertindak di luar hukum yang berlaku di negara kita. 

Atau mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal, demi bangsa burung dan negara kita. Sang raja terlihat berapi-api ketika memberikan perintah kepada sang pipit muda.

Semua yang hadir tertunduk diam. Tak berani mengangkat wajah, apalagi menyela titah sri baginda. Wajah sang raja nampak seperti berkilauan. 

"Ini aku tuanku. Utuslah aku dan aku akan pergi tuan". Sembah si pipit muda lalu beranjak akan mengundurkan diri. 

"Pergilah dan lakukanlah apa yang aku titahkan kepadamu," sahut sang raja lalu bergerak meninggalkan takhta. Semua hadirin pun bubar, setelah sang raja meninggalkan ruang pertemuan.

Lalu pergilah pipit muda ke perbatasan negeri burung. Ia tahu, dimana harus bertemu dengan perwakilan kelompok elang. Mereka adalah sepasang elang setengah tua yang terkenal galak dan bengis. 

Tak ada elang di dalam kelompoknya yang berani membantah sepasang elang ini. Mengangkat diri menjadi raja atas kaumnya, elang. Padahal, mereka berdua hanya diangkat oleh sang raja sebagai wakil para elang, bukan raja atas elang. 

Setelah terbang beberapa saat, pipit muda pun mendapatkan sepasang elang ini. Mereka berdua sementara bersantai ria di sarang nan megah. Tempatnya dibangun di atas batu besar yang menjulang tinggi, mengalahkan tingginya pepohonan di sekitar. 

Tanpa rasa takut, si pipit muda pun mendekat. "cit..cit..cit.., apa khabar elang nan perkasa. Salam sejahtera bagimu. Saya membawa titah dari paduka raja burung yang memerintah atas segala jenis burung yang ada di sini".  

Ilustrasi foto: id.pinterest.com
Ilustrasi foto: id.pinterest.com

Ketahuilah bahwa perbuatan kalian itu sudah didengar oleh raja kita. Karenanya, beliau mengutus aku untuk menyadarkan kalian. 

Raja kita masih membukakan pintu hatinya, apabila kalian bertobat dan tidak lagi melakukan perbuatan yang merugikan rakyat, bangsa dan negara kita.

Ha...ha...ha....! Elang jantan tertawa dengan keras. Saking kerasnya sampai-sampai sarang mereka pun ikut bergoyang akibat kekuatan suara disertai gerakan badan sang elang jantan. 

"Apa yang kamu bilang wahai pipit kecil tak berdaya, ada raja burung selain kami?" timpal si betina sambil terkekeh-kekeh tak mau kalah dengan pejantannya.

"Kamilah raja burung itu, wahai si makhluk tak berdaya," sambar si elang jantan sambil terbang mendekat, mencoba menakut-nakuti pipit muda. 

Pipit muda yang sudah siap berkorban tak undur jua. "Sekali lagi, saya katakan agar anda bertobat dan segera berhenti melakukan tindakan yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara kita. Itu titah dari rajaku, rajamu, raja kita semua, ha..."!

Tak sabar lagi, si elang betina pun langsung menyambar pipit muda yang belum menyelesaikan kata akhirnya. Dirobeknya mulut mungil si pipit dengan paruhnya yang besar nan tajam itu. Sementara kedua tangannya yang kokoh, mencengkeram dengan penuh, badan pipit malang itu.

Tak yakin dengan apa yang sementara dilakukan betinanya, elang jantan ikut mematuk mata, dan mencabut seluruh bulu pipit. 

Darah segar pun mengalir dari sekujur tubuhnya. Dan pipit pemberani nan malang pun meregang nyawa, dikeroyok sepasang elang nan perkasa dan sangat kuat. 

Khabar kematian pipit muda pun sampai di istana. Sang raja sangat marah dan memutuskan untuk mengirimkan pasukan pilihan untuk menghabiskan sepasang elang tak tahu diri itu. Sepasang elang arogan itu pun tewas di tangan pasukan sang raja.

Maaf, kami menolak suap (dok foto: istockphoto.com)
Maaf, kami menolak suap (dok foto: istockphoto.com)

Beberapa tahun kemudian, wilayah burung elang yang pemerintahannya pernah diwakili oleh sepasang elang nan bengis itu pun berubah. 

Tak ada lagi korupsi. No money laundry, tak ada praktik suap di sana. Anak-anak tumbuh dengan sehat, pendidikannya lancar. Pengangguran hampir tidak ada. 

Sementara, wakil-wakil para burung pun berubah perangai. Meninggalkan korupsi, kolusi, dan manipulasi. Lebih banyak memperhatikan warga burung daripada sebagai tukang service atasan. 

Kematian pipit muda tak sia-sia. Rela berkorban yang telah dilakukan si pipit muda ternyata membuahkan hasil yang sangat menggembirakan. 

Matinya utusan ini, pada akhirnya menyelamatkan banyak orang. Meskipun jiwa dan raga adalah taruhannya. 

*****

By Greg N
Mata air kolam
Selamat hari minggu panggilan ke-60
30 April 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun