Setelah terbang beberapa saat, pipit muda pun mendapatkan sepasang elang ini. Mereka berdua sementara bersantai ria di sarang nan megah. Tempatnya dibangun di atas batu besar yang menjulang tinggi, mengalahkan tingginya pepohonan di sekitar.Â
Tanpa rasa takut, si pipit muda pun mendekat. "cit..cit..cit.., apa khabar elang nan perkasa. Salam sejahtera bagimu. Saya membawa titah dari paduka raja burung yang memerintah atas segala jenis burung yang ada di sini". Â
Ketahuilah bahwa perbuatan kalian itu sudah didengar oleh raja kita. Karenanya, beliau mengutus aku untuk menyadarkan kalian.Â
Raja kita masih membukakan pintu hatinya, apabila kalian bertobat dan tidak lagi melakukan perbuatan yang merugikan rakyat, bangsa dan negara kita.
Ha...ha...ha....! Elang jantan tertawa dengan keras. Saking kerasnya sampai-sampai sarang mereka pun ikut bergoyang akibat kekuatan suara disertai gerakan badan sang elang jantan.Â
"Apa yang kamu bilang wahai pipit kecil tak berdaya, ada raja burung selain kami?" timpal si betina sambil terkekeh-kekeh tak mau kalah dengan pejantannya.
"Kamilah raja burung itu, wahai si makhluk tak berdaya," sambar si elang jantan sambil terbang mendekat, mencoba menakut-nakuti pipit muda.Â
Pipit muda yang sudah siap berkorban tak undur jua. "Sekali lagi, saya katakan agar anda bertobat dan segera berhenti melakukan tindakan yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara kita. Itu titah dari rajaku, rajamu, raja kita semua, ha..."!
Tak sabar lagi, si elang betina pun langsung menyambar pipit muda yang belum menyelesaikan kata akhirnya. Dirobeknya mulut mungil si pipit dengan paruhnya yang besar nan tajam itu. Sementara kedua tangannya yang kokoh, mencengkeram dengan penuh, badan pipit malang itu.
Tak yakin dengan apa yang sementara dilakukan betinanya, elang jantan ikut mematuk mata, dan mencabut seluruh bulu pipit.Â