Sayur....sayur....sayur....
Terdengar teriakan seorang ibu sore ini. Mencoba mengatasi bunyi hujan yang menimpa atap rumah, pepohonan dan aspal jalan.
Hujan tak menghentikan kegiatannya. Di saat banyak orang memilih berteduh di rumah, ia tetap beraktifitas. Â Berjalan keliling menjajakan dagangannya.Â
Harapannya cuma satu, dagangannya cepat habis. Lalu kembali ke rumah membawa sekilo beras yang dibeli di kios pinggir jalan.Â
Ia melangkah dengan pasti tanpa ragu. Beberapa langkah, ia pun kembali  meneriakkan nama dagangan sayurannya.Â
"Kangkung segar...., sawi......, dua ikat lima ribu. Tomat....., lombok.....! Lima ribu saja".Â
Seorang ibu berteriak dari rumah bercat krem, "sayur...sini!". Â Tanpa menunggu panggilan kedua, ia pun bergegas menuju asal suara tadi.
"Mama...., kangkung tiga ikat lima ribu dan sawi tiga ikat ju  bisa lima ribu ko?" Tawar si pembeli.Â
"Sonde bisa kaka ibu. Beta over deng 3 ikat 5.000. Kalo beta jual 3 ikat lima ribu na beta sonde dapat apa-apa e kaka ibu", sahut si mama sambil melemparkan senyun getirnya.Â
"Ya sudah mama. Kalo begitu na kasih beta kangkung dua ikat. Sawi ju 2 ikat. Tomat kasih 5.000 dan lombok ju 5.000. Jangan lupa mama kasih tambah sadiki o te beta beli banyak", ujar ibu pembeli itu sambil menyodorkan 1 lembar uang 20.000.
Tanpa banyak kata, ia mengambil pesanan pembeli. Ditambahnya sedikit tomat dan lombok. Nampaknya ia ingin memuaskan pembeli yang minta persen.
Dengan cekatan, dibereskan kembali dagangannya. Tak lupa pamit sama tuan runah dan melanjutkan perjalanannya. Menjajakan sayurannya.Â
"Kangkung.....sawi....tomat....lombok...."!. Teriaknya sambil berusaha memperbaiki mantek hujan yang dikenakannya.
Dari seberang jalan terdengar teriakan lagi. "Mama...beli sayur"! Dan dengan penuh semangat ia mendatangi asal suara tadi.
Hujan makin deras. Sang ibu penjual sayuran berteduh di garasi pemilik rumah. "Sini saja mama, di dapur!" Teriak empunya rumah.Â
"Mama kasih tomat 10 ribu, lombok 10 ribu. Kangkung dan sawi ju masing-masing 10 ribu", si ibu pembeli menyodorkan 2 lembar uang dua puluh ribu.
Di luar hujan menjadi-jadi. Diiringi sambaran kilat dan guntur nan menggelagar. Pemilik rumah meminta penjual berteduh dulu.Â
Dan segelas teh hangat plus pisang rebus disuguhkannya. Ibu penjual menyambutnya dengan enggan dan malu-malu.Â
Ditemani segelas teh, pembeli dan penjual terlibat perbincangan ringan nan lancar.Â
Rupanya ibu penjual sayuran ini memiliki 3 anak. Â Si sulung telah bekerja sebagai ASN di salah satu kantor dinas. Sementara yang kedua pergi merantau. Menjadi pekerja sawit di Malaysia.Â
Dan kini ia tinggal berdua dengan putri bungsunya yang masih duduk di kelas 3 SMA.Â
Ia tidak mau meminta kedua anaknya yang sudah bekerja untuk membiayai putri bungsunya. Sebab mereka pun telah berkeluarga dan butuh biaya.Â
Sekalipun ia hanya penjual sayur keliling, si mama punya asa. Ia ingin menyekolahkan putrinya di salah satu PT negeri yang ada di Kota Kupang.Â
Tak muluk-muluk. Hanya berharap, putrinya bisa mandiri kelak dan hidupnya jauh lebih baik dari orang tua.
Hujan pun reda. Kembali ia menapaki jalan beraspal. Meneriakkan dagangan sayurannya.Â
Sayur....sayur.....! kangkung....sawi...tomat....lombok.Â
Kota karang, 26-2-23/greg n.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI