Baru-baru ini, muncul Permen Dikbud Ristek Nomor 50 Tahun 2022 Tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan baru ini memasukkan pakaian adat untuk dipakai oleh siswa ke sekolah.
Dalam Permen baru tersebut, siswa dapat menggunakan pakaian adat pada perayaan adat tertentu. Atau sebagai pakaian yang digunakan pada hari tertentu. Bergantian dengan seragam nasional, pramuka atau batik bagi sebagian daerah.
Sebelum muncul Permen ini, Pemerintah Daerah termasuk  NTT sudah terlebih dahulu menetapkan peraturan tentang penggunaan pakaian adat ke kantor atau ke sekolah pada hari-hari tertentu. Aturan tersebut, tentu saja melekat pada para pegawai daerah. Swasta lebih bebas, tergantung pada keputusan kantornya.
Selasa dan Jumat ditetapkan oleh Gubernur NTT untuk sebagai hari dengan menggunakan pakaian adat ke kantor dan sekolah. Tentu saja dengan beberapa kelonggaran, tak selengkap pakaian adat yang benar-benar harus dipakai ketika mengikuti ritual adat atau tampil sebagai pengantin.
Plus Minus Memakai Pakaian Adat LengkapÂ
Peraturan, pastinya ada pro dan kontra. Berbeda dengan orang yang secara suka dan rela untuk melakukannya. Termasuk peraturan penggunaan pakaian adat, apalagi lengkap dengan atribut-atributnya.
Dari aspek positifnya, para pemakai merasa bangga menampilkan pakaian adat asalnya. Di NTT, hampir semua daerah memiliki pakaian adat utamanya berupa kain tenun. Hanya berbeda motif dan cara pengerjaannya saja. Suku dawan NTT, memiliki dua jenis yaitu tenun ikat (futus) dan tenun songket yang biasa dinamakan Buna.
Aspek positif lainnya, bisa memotivasi para ibu yang biasa menenun atau memproduksi pakaian adat secara hand made, akan meningkatkan produktifitas mereka. Sebab ada peningkatan pembelian produk kain tenun.
Selain itu, para pengguna pakaian daerah juga dapat berkontribusi sebagai pelestari budaya. Mempertahankan dan menjaga warisan nenek moyang dari kepunahan akibat perubahan zaman dan trend penggunaan busana.
Di samping manfaatnya, ada beberapa kelemahan ketika siswa harus menggunakan pakaian adat yang lengkap ke sekolah.
Pertama, memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengenakan busana daerah. Apalagi harus menambahkan aksesoris dan riasan-riasan, terutama pada pakaian anak perempuan.
Kedua, berpotensi munculnya pakaian tiruan yang lebih simpel dan mudah untuk dikenakan. Menggunakan pakaian adat itu memerlukan waktu yang lebih lama. Selain itu, bahan dari pakaian adat lebih tebal sehingga banyak yang kepanasan ketika menggunakannya.
Akibatnya, ada usaha-usaha modifikasi pembuatan pakaian adat dimaksud. Di NTT, pernah muncul pakaian seragam anak sekolah yang bermotifkan tenun ikat khas NTT tetapi dibuat oleh pabrik kain. Jadinya, maksud untuk mendorong ibu-ibu menenun terhambat karena sekolah-sekolah membeli kain dari luar daerah NTT.
Tak Perlu Mengenakan Atribut Lengkap ke Sekolah
Menurut saya, tak perlulah memakai pakaian adat lengkap ke sekolah. Di NTT, ada empat bagian penting busana adat yang selalu dikenakan yaitu busana penutup tubuh bagian atas, penutup tubuh bagian bawah. Ditambah dengan riasan atau penutup kepala dan selendang kecil.
Pada dasarnya, bawahan itulah yang menggunakan kain tenun yaitu beti (pria) dan tais (perempuan). Sementara atasan, menggunakan pakaian rapi lengan panjang. Ada sih, yang tanpa atasan sehingga kaum wanita menggunakan kain tais di atas dada, tetapi kan tidak mungkin ke kantor atau sekolah dengan bertelanjang dada.
Selain beti-tais, atasan kebaya atau lengan panjang, masih ada lagi busana pokok, yaitu pada bagian kepala (destar atau Ti'i Langga untuk kaum pria) dan selendang yang bisa diselempangkan di bahu.
Selain itu, terdapat atribut-atribut lain berukuran besar seperti kalung, gelang dan anting-anting untuk kaum perempuan. Termasuk riasan kepala kaum perempuan yang berfungsi seperti mahkota.
Karena ribetnya penggunaan pakaian adat lengkap, maka cukuplah menggunakan busana pokok saja apabila mau memasukkan unsur pakaian daerah ke sekolah.
Anak-anak sekolah di NTT telah memakai selendang setiap hari Selasa dan Jumat. Sedangkan pada hari Sabtu, menggunakan pakaian tambahan berupa rompi dari motif tenun ikat khas NTT.
Lumayan banyak ya, pakaian yang perlu disiapkan untuk pergi ke sekolah. Anak saya harus memiliki beberapa pasang pakaian. Minimal ada 5 pasang, yaitu seragam nasional lengkap, seragam sekolah, pramuka, rompi motif, dan pakaian olahraga.
Di satu sisi memang menumbuhkan rasa bangga dan rasa cinta anak terhadap keanekragaman busana Nusantara. Juga memberi motivasi pada para ibu selaku pembuat tenun tradisional hand made. Namun di lain pihak, beban keluarga bertambah. Ada ekstra tambahan pengeluaran untuk mendapatkan pakaian-pakaian yang disyaratkan tersebut.
Pendidikan memang mahal, tetapi bisa diatur sedemikian agar tidak ada biaya-biaya tambahan yang dibebankan pada orang tua siswa. Bukankah kita bersekolah untuk belajar, termasuk belajar memahami pengeluaran yang tidak efisien?
Untuk pakaian daerah, sebaiknya cukup mengenakan motif atau satu tanda saja yang mewakili adat suatu daerah. Misalnya cukup selempangkan selendang pada seragam sekolah atau model lainnya yang bisa dibicarakan bersama antara sekolah dan orang tua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H