Tetapi lain dulu lain sekarang. Sudah 77 tahun kita merdeka, mengatur bangsa dan negara kita sendiri. Kita memang berhimpun dalam satu negara dan satu bangsa bernama Indonesia. Namun kita memiliki begitu banyak keragaman. Tak hanya suku bangsa, agama, dan budaya. Namun karakter daerah pun berbeda-beda.
Perbedaan topografi tanah, curah hujan, kesuburan lahan, jenis tanah, adalah suatu berkat tersendiri. Papua dan Maluku kekurangan beras. Tetapi ingat, mereka telah lama menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Tak perlu kirim beras ke sana, lalu mengambil batang sagunya saudara kita di Papua sana untuk dijadikan konsumsi pokok di Jakarta.
NTT sering mendapatkan pasokan beras. Padahal, penduduknya telah terbiasa menjadikan jagung sebagai pangan utama. Dicampurlah aneka kacang dan sayuran (buah pepaya muda, daun kelor, buah labu, dsb) Â di dalam masakan jagung, namanya jagung katemak. Dinikmati dengan Lu'at Timor. Nikmat rasanya.
Di Gunung Kidul dan beberapa tempat lain, penduduknya sudah terbias mengkonsumsi tiwul sebagai pengganti nasi. Dicampur dengan bahan dasar lain, jadi enak. Tinggallah menambahkan menu lain yang bisa memenuhi gizi keluarga.
Secara singkat, diversifikasi pangan lebih berdaya tahan untuk urusan ketahanan pangan. Apabila tak ada nasi, masih ada jagung dan ubi kayu. Jika tak ada jagung, masih ada sagu, talas, labu kuning dan aneka tanaman pangan lain.Â
Indonesia telah lama mengenal dan mengkonsumsi aneka pangannya sendiri. Dari biji-bijian, umbi-umbian, batang, daun, dan buah tanaman tropisnya. Mari mengurangi konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi pangan lokal di sekitar kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H