Tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang (1 Oktober 2022) adalah tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia dalam dunia sepak bola.Â
Dalam urutan 10 besar, tragedi ini menduduki peringkat kedua setelah kejadian di Kota Lima, Peru. Â Hingga kini (dan mungkin akan bertambah), tragedi Kanjuruhan sudah memakan 130 nyawa. Tragedi ini menambah total korban nyawa dalam sepak bola dunia, 1.126 jiwa dalam kurun waktu 1964-2022.
Pitch Invasion Versus Tear Gas
Tiga tragedi kemanusiaan teratas dalam perhelatan sepak bola (Peru, Indonesia, Ghana) diawali dengan pitch invasion. Penonton menyerbu masuk ke lapangan karena kecewa dan marah. Dalam jumlah yang sangat banyak dan tak terduga.Â
Di pihak lain, aparat keamanan yang bertugas untuk mengamankan jalannya pertandingan tak mampu mengendalikan suasana. Pasukan mereka terlalu kecil untuk menghadapi amukan penonton.Â
Dalam suasana yang panik, pilihan paling akhir dan dianggap efektif pun dilakukan. Menyemprotkan gas air mata ke arah penonton. Â Dengan maksud penonton tidak melakukan keonaran.
Namun di luar dugaan. Suasana semakin kacau. Banyak yang berlarian menyelamatkan diri karena tak tahan terhadap tear gas nya para penjaga keamanan. Asap berputar-putar di dalam stadion.
Penonton berlarian kocar-kacir sambil menutup mata. Mencari pintu keluar, mencari jalan agar perihnya mata dan sesaknya nafas dapat diatasi. Dan tabrak-menabrak pun tak terhindarkan. Yang kalah tenaga, jatuh dan terinjak-injak. Tak mampu bangkit lagi lalu meregang nyawa.
Dalam catatan bola.com, tragedi stadion Estacio Nacional Disaster di Kota Lima, Peru (24 Mei 1964) adalah yang terbanyak menelan korban. Sebanyak 328 orang tewas. Saat itu, berlangsung pertandingan antara Peru dan Argentina..Â
Diawali dengan keputusan wasit yang dianggap kontroversial. Penonton Peru tak puas, melakukan pitch invasion. Bisa dibayangkan, berapa banyak penonton sepak bola antarnegara. Sementara, security sangat sedikit dan tak mampu menghalau penonton. Jadilah, gas air mata menjadi pilihannya.Â
Kasus yang sama juga pernah terjadi di Accra Sports Stadium Disaster, Ghana pada tanggal 9 Mei 2001. Namun ini bukan antarnegara melainkan pertandingan antarklub.
 Liputan6.com pada 9 Mei 2015 menuliskan, tragedi ini diawali dengan ulah suporter Kumasi Asante Kotoko yang tak mau menerima keunggulan klub Hearts 2-1. Goal ke-2 Hearts dianggap offside namun disahkan oleh wasit. Jadilah, mereka membakar bangku, melempar bola dan memanjat pagar.Â
Pasukan penjaga keamanan mencoba untuk menyemprotkan gas air mata ke penonton. Tujuannya, agar suasana bisa dikendalikan. Namun di luar dugaan, penonton panik. Sebanyak 126 nyawa pun melayang sia-sia.
Lalu mengapa pasukan keamanan di stadion Kanjuruhan Malang memilih untuk menggunakan gas air mata saat menghadapi serbuan penonton ke dalam lapangan? Bukankah mereka belajar tentang tragedi Peru dan Ghana tersebut? Tidak adakah cara lain yang dapat dilakukan selain menyemprotkan gas air mata?
Koordinator Save Our Soccer, Akmar Marhali kepada Kompas.com (2/10/2022) telah menyatakan bahwa penggunaan gas air mata tidak boleh digunakan. Penanganan kasus yang dilakukan oleh pihak kepolisian, tidak sesuai dengan prosedur. Juga melanggar aturan pengamanan dan keamanan stadion FIFA.
Alasan sedikitnya pengaman perlu juga dievaluasi. Di Indonesia, sepak bola selalu identik dengan kerusuhan dan keonaran. Bisa antara pemain dengan pemain, atau penonton dengan pemain, penonton dengan penonton, atau penonton dengan aparat penjaga. Apalagi setiap klub punya penonton yang fanatik.Â
Fanatik ketemu fanatik, jadilah fanatik pangkat dua. Sudah selayaknya, penyelenggara menambah personel dan menciptakan sistem yang tertib sehingga tidak ada kekacauan.
Saatnya Sepak Bola Indonesia Berbenah Diri Secara Serius
Tragedi kemanusiaan ini harus diusut secara tuntas, dan menjatuhkan sanksi dan hukuman berat bagi mereka yang lalai. Terlepas dari itu, apapun komplain kita terhadap tragedi Kanjuruhan, nyawa ratusan saudara kita tidak mungkin dikembalikan.Â
Sambil mendokan para korban, sekaligus menghibur keluarga korban, maka saatnya tragedi ini menjadi momentum yang serius agar sepak bola Indonesia benar-benar diperbaiki.Â
Kementerian Pemuda dan Olah Raga, PSSI, penyelenggara, para pemilik klub, dan pihak keamanan harus bertanggung jawab terhadap tragedi ini. Sambil menanti sanksi apa yang bakal dijatuhkan ke dunia persepakbolaan Indonesia dan kepada yang dinyatakan bersalah, mari kita jadikan peristiwa ini untuk berbenah diri:
(1) Para pemain, jangan mudah tersulut emosi, (2) Para penonton, jangan suka bikin onar, (3) Para pengelola klub, agar dapat membina mental pemain dan memperbaiki manajemen klub, (4) Para penyelenggara, pikirkan keamanan bukan hanya sekedar melakukan rutinitas, (5) Para penjaga keamanan, jangan serampangan menggunakan teknik menghalau massa yang berakibat fatal.
Dan semoga di masa mendatang, kita dapat menonton suguhan sepak bola Indonesia secara nyaman. Memberi dukungan kepada para pemain favorit kita dengan tertib. Tak menimbulkan keributan, baik di stadion maupun saat kembali pulang ke rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H