Kasus yang sama juga pernah terjadi di Accra Sports Stadium Disaster, Ghana pada tanggal 9 Mei 2001. Namun ini bukan antarnegara melainkan pertandingan antarklub.
 Liputan6.com pada 9 Mei 2015 menuliskan, tragedi ini diawali dengan ulah suporter Kumasi Asante Kotoko yang tak mau menerima keunggulan klub Hearts 2-1. Goal ke-2 Hearts dianggap offside namun disahkan oleh wasit. Jadilah, mereka membakar bangku, melempar bola dan memanjat pagar.Â
Pasukan penjaga keamanan mencoba untuk menyemprotkan gas air mata ke penonton. Tujuannya, agar suasana bisa dikendalikan. Namun di luar dugaan, penonton panik. Sebanyak 126 nyawa pun melayang sia-sia.
Lalu mengapa pasukan keamanan di stadion Kanjuruhan Malang memilih untuk menggunakan gas air mata saat menghadapi serbuan penonton ke dalam lapangan? Bukankah mereka belajar tentang tragedi Peru dan Ghana tersebut? Tidak adakah cara lain yang dapat dilakukan selain menyemprotkan gas air mata?
Koordinator Save Our Soccer, Akmar Marhali kepada Kompas.com (2/10/2022) telah menyatakan bahwa penggunaan gas air mata tidak boleh digunakan. Penanganan kasus yang dilakukan oleh pihak kepolisian, tidak sesuai dengan prosedur. Juga melanggar aturan pengamanan dan keamanan stadion FIFA.
Alasan sedikitnya pengaman perlu juga dievaluasi. Di Indonesia, sepak bola selalu identik dengan kerusuhan dan keonaran. Bisa antara pemain dengan pemain, atau penonton dengan pemain, penonton dengan penonton, atau penonton dengan aparat penjaga. Apalagi setiap klub punya penonton yang fanatik.Â
Fanatik ketemu fanatik, jadilah fanatik pangkat dua. Sudah selayaknya, penyelenggara menambah personel dan menciptakan sistem yang tertib sehingga tidak ada kekacauan.
Saatnya Sepak Bola Indonesia Berbenah Diri Secara Serius
Tragedi kemanusiaan ini harus diusut secara tuntas, dan menjatuhkan sanksi dan hukuman berat bagi mereka yang lalai. Terlepas dari itu, apapun komplain kita terhadap tragedi Kanjuruhan, nyawa ratusan saudara kita tidak mungkin dikembalikan.Â
Sambil mendokan para korban, sekaligus menghibur keluarga korban, maka saatnya tragedi ini menjadi momentum yang serius agar sepak bola Indonesia benar-benar diperbaiki.Â