Mohon tunggu...
Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Mohon Tunggu... Petani - Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Menjadi Buruh di Kebun Sendiri

15 September 2022   09:10 Diperbarui: 16 September 2022   09:00 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani adalah sebutan bagi mereka yang memiliki mata pencaharian utama sebagai orang yang bertani atau bercocok tanam. (KOMPAS.com)

Petani adalah sebutan bagi mereka yang memiliki mata pencaharian utama sebagai orang yang bertani atau bercocok tanam. Dari hasil produksi tanaman mereka, ada yang digunakan secara langsung sebagai pangan keluarga dan ada yang dijual, untuk memenuhi kebutuhan hidup selain pangan.

Dalam kehidupan sehari-hari, petani juga dapat dibedakan lagi menjadi petani pemilik lahan dan buruh tani. Pemilik lahan bisa saja tuan tanah yang memiliki lahan hingga berhektare-hektare.

Setingkat di bawahnya, petani yang tidak memiliki lahan seluas tuan tanah, namun dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Petani tingkat ini biasanya mengerjakan lahannya secara mandiri. Sebab selain mereka sekeluarga mampu mengerjakannya sendiri, kalkulasi untung-rugi juga diperhitungkan.

Buruh tani, adalah mereka yang menggantungkan hidupnya dengan mengerjakan lahan milik orang lain. Imbalannya dapat berupa uang, atau bagi hasil.

Menjelang panen padi sawah. Beberapa petani telah menjual hasil sawahnya sebelum panen karena butuh uang untuk biaya hidup. Dok pribadi
Menjelang panen padi sawah. Beberapa petani telah menjual hasil sawahnya sebelum panen karena butuh uang untuk biaya hidup. Dok pribadi

Ada tiga kasus menarik yang saya alami sepanjang perjalanan hidup saya berteman dan bekerja bersama petani. Karena alasan kebutuhan hidup yang mendesak, maka lumayan banyak petani mau tidak mau mengijonkan tanamannya kepada tengkulak, atau kepada siapa saja yang mau membeli produk pertaniannya sebelum tiba panen.

Bahkan, ada petani yang kemudian terpaksa harus menjadi buruh saat panen hasil sebab sebagian besar hasil panennya telah dimiliki oleh orang lain. Mereka telah menjual hasil produksi sebelum panen.

Tentu saja, hanya dalam bentuk perkiraan dan dengan harga yang murah sekali. Alhasil, petani menjadi buruh di kebun sendiri. Menjaga dan merawat tanaman yang hasilnya tidak akan dinikmati sendiri, tetapi oleh orang lain yang telah memilikinya.

Praktik-praktik ini, jarang terdata dan tidak diakui oleh instansi-instansi yang mendata hasil produksi petani. Barangkali karena sifatnya kasuistik. Namun, tiga kasus yang saya alami secara pribadi berikut ini adalah nyata.

Panen simbolis padi sawah di desa Tualene, Biboki Utara antara Babinsa dan petani. Dok Pos-kupang.com/Tommy Mbenu Nulangi
Panen simbolis padi sawah di desa Tualene, Biboki Utara antara Babinsa dan petani. Dok Pos-kupang.com/Tommy Mbenu Nulangi

Petani Sawah di Daerah Biboki, NTT

Pengerjaan sawah di Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT lumayan banyak memerlukan biaya. Pengeluaran tersebut sudah harus dikeluarkan sejak dini. Diantaranya untuk biaya traktor lahan, pembelian benih padi, biaya penanaman, pembelian pupuk, pestisida, hingga panen dan pengakutan gabah ke rumah.

Tingkat penjualan gabah model ini pun dilakukan dalam rentang waktu dan harga yang berbeda-beda. Harga paling murah dijual saat persiapan lahan. Alasannya, petani membutuhkan modal berupa uang kas untuk membayar traktor,membeli benih dan pupuk.

Gabah kering panen saat pengolahan lahan biasanya dihargai sekitar Rp 1.000 per kg. Jadi bisa dibayangkan, satu kwintal gabah padi hanya dihargai dengan Rp 100.000. Namun beberapa petani terpaksa menempuh hal tersebut karena memerlukan biaya untuk pengolahan lahan sawahnya.

Sedikit lebih baik, jika hasil gabah dijual saat hampir panen. Kisaran gabah kering panen tersebut antara Rp 2.500 hingga Rp 3.000 per kg. Tergantung negosiasi antara pembeli dan petani.

Petani Jeruk di TTS, NTT

Lain lagi kasus yang pernah kami temui di pinggir jalan trans Timor Raya, tepatnya di antara Niki-Niki dan Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.

Seorang petani jeruk Soe, tidak mau menjual jeruk keprok Soe nya yang sudah matang pohon kepada kami. Alasannya, seluruh buah jeruk yang ada pada pohon itu telah diborong oleh seseorang. Mereka telah menerima sejumlah uang dari yang bersangkutan.

Jadi saat itu, si petani hanya memiliki pohon jeruknya. Sementara, buahnya sudah dimiliki orang lain. Mereka, hanya menjadi pengawas dan perawat sampai pembeli datang, memanen, dan membawa pulang jeruk-jeruk itu.

Jeruk keprok Soe, matang di pohon belum tentu bisa dibeli karena telah dijual oleh pemilik sebelum batang. Dok bebeja.com
Jeruk keprok Soe, matang di pohon belum tentu bisa dibeli karena telah dijual oleh pemilik sebelum batang. Dok bebeja.com

Petani Kopi di Bukit Jambi, Lampung

Selain gabah padi dan buah jeruk di NTT, ada satu kasus lagi yang saya temukan di lapangan. Kali ini, terkait dengan petani kopi di Bukit Jambi, Way Kanan, Lampung.

Tahun 2022 ini, penjualan kopi secara borongan saat buah kopi masih hijau cukup meningkat. Tidak dijual dalam berat buah kopi per kilogram, tetapi borongan dalam satu kapling kebun kopi.

Harga tentunya saja tergantung pada negosiasi dan kesepakatan antara pemborong dengan petani kopi. Namun tentu saja harganya jauh di bawah harga saat panen.

Tahun 2022 ini, harga buah kopi panen asalan di Bukit Jambi berkisara antara Rp.18.000 hingga Rp 22.000 saat panen raya. Bahkan beberapa bulan kemudian, harga ini akan meningkat lagi. Saat ini, harga tersebut sudah mencapai Rp 28.000

Sementara panen seleksi yang mana hanya menyeleksi buah kopi yang telah matang memiliki harga yang lebih mahal. Kisaran Rp 28.000 hingga Rp 50.000 per kilogram di tingkat petani kopi.

Kebun kopi milik petani Bukit Jambi. Ia hanya mau panen secara selektif alias petik merah. Dok pribadi
Kebun kopi milik petani Bukit Jambi. Ia hanya mau panen secara selektif alias petik merah. Dok pribadi

Alasan Menjual Hasil Sebelum Panen

Meskipun sangat murah, praktik penjualan hasil pertanian sebelum panen alias ijon atau sebutan lain masih tetap dilakukan petani. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi keputusan petani untuk melakukannya.

Pertama, petani memerlukan sejumlah uang kas dalam waktu yang mendesak. Apabila hari ini petani memerlukan sejumlah uang kas, maka ia akan pergi ke orang yang dapat memberikan pinjaman uang dengan jaminan perkiraan hasil panen produk pertaniannya. Dan, ia bisa kembali dengan membawa sejumlah uang dari pemberi pinjaman.

Kedua, urusan dengan pemberi pinjaman dengan jaminan hasil produksi pertanian tidak seribet jika berurusan dengan bank atau lembaga pemberi dana pinjaman. Petani belum terlalu familiar dengan pengisian berbagai dokumen, survei dan analisis kredit yang biasa dilakukan oleh bank pemberi kredit.

Ketiga, petani tidak perlu mengembalikan uang kas tetapi dalam bentuk barang. Dalam hal ini, berupa hasil pertanian yang dijaminkan. Mereka masih bisa berharap dari biaya tenaga kerja yang bakal diperoleh saat mereka terlibat dalam panen. Ya, meskipun menjadi buruh di kebun sendiri. Daripada tak mendapatkan upah atau tambahan dari panen tersebut.

Semakin banyak hasil yang dijaminkan, maka petani akan semakin rajin untuk merawat tanamannya agar hasil panennya bisa optimum sehingga masih bisa mendapatkan sisa hasil panen setelah disetor kepada pemberi pinjaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun