Banyak tradisi yang masih dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tradisi sendiri didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai suatu kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat.
Salah satu kebiasaan yang masih dipertahankan dengan baik hingga kini oleh para petani kita, adalah memberi tanda terhadap sesuatu. Diantaranya, menandai kepemilikan pada pohon atau batas lahan dengan menanam pohon tertentu.
Petani di Gampong Geunteut, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar umumnya menggunakan tanaman puring untuk menandai pohon miliknya. Setiap orang memilih corak dan warna puring yang berbeda.
Di Desa Paperu, Saparua-Maluku, petani juga menggunakan puring sebagai penanda tanaman durian dan palanya. Sebab banyak pala yang jatuh lalu tumbuh di kebun milik keluarga besar.
Apabila ada yang menanam puring di dekatnya, maka anggota keluarga lain tidak boleh mengklaim pohon tersebut, sebab sudah bertuan. Namun, kali ini saya lebih fokus pada Aceh dan Lampung karena ingatan masih segar terhadap kedua daerah ini.
Sedangkan petani di Kampung Juku Batu, Menanga Siamang, Argo Mulyo dan beberapa Kampung lainnya di Kecamatan Banjit, Kabupaten Way Kanan, Lampung, menggunakan pohon Hanjuang untuk menandai batas lahan dan kepemilikan terhadap pohon tertentu.
Menurut salah satu petani Gampong Geunteut bernama Mahmudin, perihal sejak kapan puring digunakan sebagai pemberi tanda, tidaklah diketahui secara pasti. Ia sendiri mengetahuinya dari sang ayah. "Ini adalah warisan", katanya. Pohon yang paling banyak ditandai, adalah pohon durian.
Lain padang, lain belalang. Lain lubuk, lain ikannya.
Setiap daerah memiliki kebiasaan yang berbeda-beda. Di Banjit, Way Kanan, petani malah menggunakan tanaman Hanjuang untuk dua tujuan. Sebagai pemberi batas lahan, juga untuk menandai pohon tertentu yang menjadi miliknya.