Dalam kunjungan ke petani Nilam di Gampong Paroi dan Gampong Geunteut, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar pada 20-23 Mei 2022 ini, dapat diketahui ada beberapa faktor penyebabnya.
Pertama, petani kurang fokus untuk mengembangkan usahatani Nilam. Sugianto, seorang petani Gampong Paroi yang sudah 40 tahun bertanam Nilam, menyampaikan bahwa kurang fokusnya mereka bukan tanpa alasan.
Yang pasti, petani harus menempuh strategi agar dapur keluarga tetap mengepul. Selain bertanam Nilam, ia juga harus bertanam komoditas pertanian lainnya. Diantaranya, durian, pinang, katuk dan cabai.
Jagung dan tanaman lain yang disukai monyet tidak dapat ditanam di areal Gunung Paroi sebab hanya akan dinikmati oleh pasukan monyet yang populasinya tinggi sekali sepanjang kawasan Paroi. Karena tidak fokus, maka lahan yang ditanami Nilam pun tak seberapa luas.
Kedua, perawatan Nilam ala kadarnya. Saat berkunjung ke kebun Sugianto, tanaman Nilamnya dibiarkan tanpa perawatan. Jarak tanam, pemberian pupuk, dan penyiangan gulma tidak dilakukan.
Bahkan rumpun tanaman Nilam yang tumbuh di bawah rerimbunan pohon tinggi mengalami pertumbuhan yang kerdil. Mereka menamakannya sakit Budok.
Ketiga, naik turunnya harga minyak Nilam di tingkat petani. Menurut Sugianto, harga minyak Nilam selalu naik turun. Harga minyak Nilam pernah naik sampai jutaan rupiah per kilogram, namun turun hingga Rp 90.000 per kilogram. Demikian kendala petani di sektor pemasaran.Â
Keempat, pendampingan yang tidak kontinu. Beberapa kali, Sugianto dan petani Paro mendapatkan bantuan. Yang masih diingat, bantuan dari lembaga bernama Genesis. Sekalipun sudah lupa, beliau masih bertutur, kala itu mereka didampingi sendiri oleh seseorang bernama Alex berkebangsaan Perancis.
Petani dilatih untuk bertanam dan merawat Nilam dengan baik, menjalankan kegiatan processing sendiri lalu memasarkan minyaknya ke Medan, Sumatera Utara.