Beberapa di antaranya: CARE, OXFAM, PLAN, Save the Children, Child Fund, ACF, Swiss Contact, GTZ, VECO, ANTARA, dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, biasanya menggandeng LSM lokal yang bertindak sebagai pelaksana di lapangan.
Selain ikut terlibat dalam penyediaaan sarana fisik berupa penyediaan sarana air bersih, jamban, beberapa unit rumat sehat, lembaga-lembaga ini terlibat dalam usaha peningkatan kapasitas masyarakat melalui berbagai pelatihan, penyuluhan dan berbagai demplot terkait dengan gizi dan kesehatan.
Bahkan untuk menangani gizi buruk anak secara terpusat, CARE pernah mendirikan Therapeutic Feeding Centre (TFC) atau Pusat Pemulihan Gizi (PPG) di Bitefa, TTU. Sayangnya, setelah diserahterimakan kepada penguasa setempat, sarana ini tak sanggup dipertahankan.
Keterlibatan LSM internasional cukup membantu. Tetapi kembali mengalami hal buruk, manakala program-program lembaga tersebut selesai, dan diserahterimakan kepada masayrakat dan pemerintah daerah setempat.
Kendala biaya, baik dari swadaya masyarakat sendiri maupun alokasi dari dana pemerintah daerah setempat menjadi penyebab utama terbengkelainya program peninggalan lembaga-lembaga ini. Di sisi lain, kesadaran masyarakat untuk merawat fasiltas-fasilitas publik yang dibangun masih sangat rendah.
Menuju Target 14 Persen
Menurut Hasto Wardoyo, Kepala BKKBN, kegiatan-kegiatan terkait dengan penurunan angka stunting harus dilakukan dengan intesif. Sebab Presiden Jokowi telah berkomitmen untuk menjadikan prevalensi stunting nasional ada pada level 14 persen.
Lantas, akankah 22 Bupati/Wali kota se-NTT bersama sang Gubernur mampu mendekatkan angka prevalensi stunting daerahnya yang masih dominan berwarna merah dan kuning?
Mampukah seluruh masyarakat NTT bahu-membahu memperbaiki status gizi provinsinya, termasuk memperbaiki prevalensi stunting ke arah 14%?Â
Kerja keras dan kerja sama yang baik, harusnya mampu memperbaiki kondisi ini. Ego sektoral, ego daerah, hendaknya dikikis demi tercapainya tujuan-tujuan ini.