Sebagian besar orang sudah paham betul tentang konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) berkaitan dengan  peningkatan tumpukan sampah dan pencemaran lingkungan.Â
Sampah anorganik, utamanya plastik bekas pakai sering menggunung di TPA.Â
Bukan hanya di TPA. Sampah dibungkus dan dibuang di lahan orang. Pejalan kaki dengan santai membuang bekas pembungkus permen, botol mineral kosong dan pembungkus makanan di jalan sambil berlalu. Kadang, ada penumpang mobil membuang plastik permen, dan kemasan air mineral kosong dari dalam mobil mereka. Tanpa beban. Sudah terbiasa.Â
Barangkali mereka berpikir, toh ada orang yang bertugas untuk menyapunya. Jika tidak, masih ada pemulung plastik. Hitung-hitung berbagi rezeki. Ah, pikiran murahan jika memang seperti itu.Â
Konsep memang gampang dihafal, tetapi implementasi sulit dilakukan. Apalagi kepedulian tentang sampah. Itu terkait dengan kesadaran pribadi setiap individu.Â
Sekalipun ada himbauan, larangan atau slogan seperti: buanglah sampah pada tempatnya; dilarang membuang sampah di sini!; kebersihan adalah sebagian dari iman, tetaplah tidak membuat semua orang sadar diri.
Itu baru sampah yang dihasilkan dari bungkusan makanan atau wadah air mineral. Belum lagi sampah yang dihasilkan dari pembungkus pesanan online yang meningkat pesat akhir-akhir ini.Â
Dua tahun lalu (20 April-5 Mei 2020), LIPI telah mengeluarkan hasil survey mereka terkait peningkatan sampah plastik akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dimana banyak orang bekerja dari rumah (WfH).Â
Meskipun surveynya terbatas pada responden pilihan di wilayah Jabodetabek, LIPI menemukan penggunaan pembungkus makanan meningkat pesan akibat order makanan secara online. Bahkan temuan LIPI menunjukkan, persentase sampah plastik pembungkus aneka paket online ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan persentase plastik dari kemasan yang dibeli.Â
Masih dari penelitian LIPI, paket layanan delivery makanan lewat jasa kurir online ini biasanya dibungkus dengan plastik yang tebal, ditambah bubble wrap dan tak ketinggalan selotipnya.Â