Mohon tunggu...
Viride
Viride Mohon Tunggu... Buruh - penulis

Penulis tidak dapat menulis secepat pemerintah membuat perang; karena menulis membutuhkan pemikiran. - Bertolt Brecht (Penulis dari Jerman-Australia)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Berwarna Hitam (Part - 4)

4 April 2019   10:16 Diperbarui: 4 April 2019   10:26 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ruang tamu tinggallah kami berdua duduk dengan tenang. Jam dinding telah menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh menit ketika Vanita mempertanyakan keberadaan Rosa yang malam itu ada di rumahku.

"Atasan memintanya mengambil data ke sini, karena berkas itu pernah kubawa pulang," kataku menatapnya santai. "Kenapa ponselmu tidak aktif? Tadi siang aku berusaha menghubungimu."

Vanita menatapku sebentar. Ia menarik napas lalu menceritakan harinya yang kelabu. "Tadi pagi seperti biasa, aku pergi ke kantor, di perjalanan ada insiden. Aku menerima panggilan dari bos dan parkir sebentar di pinggir jalan, tapi sial, seseorang bermotor menyambar ponselku dan kabur."

"Ya ampun. Apa kau sudah lapor polisi?" tanyaku, kusentuh bahunya, prihatin.

"Tidak mungkin lapor polisi, karena orang yang mengambilnya saja aku tak tahu. semuanya terjadi begitu cepat. Saat berusaha mengejar orang itu, aku kehilangan jejak."

"Ya sudah. Pasrahkan saja barang itu. nanti kau bisa beli yang baru," kataku menguatkannya.

"Tadi siang aku ke kantormu. Memberitahukan kejadian ini, tapi kata security di sana, kau keluar bersama atasanmu dan beberapa karyawan."

"Ya. Sebelum pergi aku berusaha menghubungimu, tapi tidak bisa."

Keheningan menguasai keadaan. Kami saling terbuai dengan pikiran masing-masing.

"Temanmu tadi cantik juga ya?" katanya, melirikku dengan senyum penuh arti.

Aku menelisik maksud senyumannya. Menatap dengan saksama, apakah ada rasa kecemburuan di sana. Terbata, khawatir membuat perempuan itu benar-benar memenuhi kepalanya dengan prasangka yang tidak-tidak, aku memberikan jawaban logis.

"Um, kurasa, perempuan mana pun selalu terlihat cantik, karena mereka perempuan. Lain halnya kalau mereka laki-laki, tidak mungkin disebut cantik. Benar, kan?" tanyaku membuat kalimat terasa lucu. Apa menurut kalian begitu?

Vanita melemparkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Tapi sepertinya, dia menyukaimu." Pada kata terakhir mata perempuan itu langsung menghujamku.

Dahiku berkerut. Benar saja, ia cemburu. "Aku tak tahu apa dia menyukaiku atau tidak. Yang jelas kami tidak ada hubungan apa-apa."

"Oh ya. Hemm ... entahlah. Mungkin saja yang terjadi, sebelum aku datang, kau tidak sedang membantunya berdiri, tapi melakukan sesuatu yang aku tak tahu."

"Maksudmu?" tanyaku dengan kening berkerut.

Oh, Tuhan. Ini benar-benar hanya hal sepele yang tidak perlu diperdebatkan, karena memang tidak ada yang terjadi, tapi Vanita seolah menginginkan kecurigaannya dibenarkan.

"Vani, jangan berprasangka buruk padaku. Harus bagaimana lagi menjelaskannya kalau aku hanya menyayangimu?" Aku kesal.

"Cuma merasa aneh. Ini sudah malam dan perempuan itu ada di rumahmu. Tiba-tiba saat melihatku datang, kau mengatakan dia terpeleset di kamar mandi."

"Itulah yang terjadi. Memangnya kau mengharapkan apa?" Aku menatapnya dengan emosi yang mulai menggebu.

Merasa ditantang, Vanita membalas tatapanku. Sorot matanya nanar dan tajam. "Tidak ada, tapi aku tidak tahu apa yang sudah terjadi sebelum aku datang."

"Tidak ada yang terjadi, Vani. Please, percayalah." Aku amat sangat memohon agar perempuan itu tidak membiarkan kecurigaan memenangkan kesalahpahaman di antara kami.

Sesaat keadaan kembali hening, ponselku yang berada di atas meja berbunyi. Seseorang menguhubungi. Nama Rosa terpampang jelas di sana.

"Wahh, dia sudah pulang, tapi kenapa menghubungimu? Apa perlu laporan kalau setiap kali sampai di rumah?" Vanita melemparkan sorot matanya yang menusuk.

Untuk sebentar saja, aku tak menghiraukan kata-katanya. Mengambil ponsel dan menerima panggilan. "Ada apa, Rosa? ... ya ... oke ... tidak apa-apa." Kujawab beberapa ucapan Rosa, lalu komunikasi usai.

Sebelum ditanya, aku langsung memberikan pernyataan pada perempuan yang kini masih dengan kecurigaan terbesarnya. "Dia minta maaf, karena sudah merepotkan dan berterima kasih karena kita sudah membantu mengobati kakinya. Ada yang perlu kau curigai lagi?" tanyaku kesal, membalas sorot matanya, tak peduli senjata apa yang akan keluar dari sana.

"Apa dia memberikan ciuman jarak jauh?" tanyanya membalas kalimatku dengan enteng. Jelas senyumnya mengejek.

Aku terpana, tak menyangka pertanyaan brengksek itu harus Vanita katakan. Hanya bisa menatapnya dengan kerutan dahi yang makin dalam dan mulut yang setengah terbuka. Tak tahu harus berkata apa.

"Baiklah kalau dia tidak melakukan hal itu. aku harus pulang, jadi kau bisa kembali menghubunginya dan menyelesaikan obrolan malam kalian." Vanita berdiri dan bergegas menuju pintu.

Buru-buru aku mengejar. Menarik tangannya dan berusaha menyelesaikan masalah kami. "Vanita tunggu. Apa maksudmu? Kenapa kau masih saja mencurigaiku?  Sebenarnya apa yang kau inginkan?" Saat itu, hatiku terasa perih. Perempuan di depanku itu masih memelihara kecurigaan dan kecemburan yang kukira tidak akan kembali membesar.

Aku menatapnya dengan terluka. ia seolah tak peduli kalau sifat jelek itu benar-benar menyayatku sedikit demi sedikit.

"Ernest, aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa melihatmu dengan perempuan lain walaupun hanya sekedar melakukan obrolan biasa, karena aku tahu mereka menyukaimu," katanya. Cemberut, seakan permen yang ada di tangannya akan dirampas anak lain.

Kupegang dua bahunya, memberikan pengertian. "Biarkan saja mereka menyukaiku, tapi aku tetap mencintaimu. Apa itu tidak cukup?" tanyaku mengawasi wajahnya, mencari celah kalau perempuan itu mengerti dengan apa yang kukatakan.

BERAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun