Mohon tunggu...
Viride
Viride Mohon Tunggu... Buruh - penulis

Penulis tidak dapat menulis secepat pemerintah membuat perang; karena menulis membutuhkan pemikiran. - Bertolt Brecht (Penulis dari Jerman-Australia)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mimpi Siang Bolong

25 November 2018   17:42 Diperbarui: 25 November 2018   18:12 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai, aku Yuli. Ya, nama itu terdengar sangat biasa, tapi kuharap kau tak keberatan, karena aku ingin kita berteman dan bercerita tentang kehidupan yang kujalani. Malam ini aku sedang terbaring menatap langit-langit kamar.

Umm, aku dalam keadaan tidak bisa tidur. Sebabnya sangat sepele, aku tidak bisa melupakan lengkungan manis di bibir teman satu kelasku, namanya Adriana. Ia gadis yang cantik, rambutnya panjang, berkulit putih dan orang yang menyenangkan.

Lalu, apa yang aneh dari senyum Adriana, hingga membuatku tak bisa tidur? Semuanya bermula di jam istirahat siang tadi, saat sebagian teman sekelas keluar menuju kantin atau santai mengisi tempat duduk untuk sekedar mencari angin dan bergosip ria di depan kelas.

Aku malah sedang menghadapi tiga orang teman yang saat itu menggenggam handphone keluaran terbaru di masing-masing tangan mereka. Saat itu aku hanya bisa menelan ludah kegetiran, handphone baru yang dengan gampangnya menggunakan sentuhan ujung jari lembut untuk mengoperasikannya. Ya, ampun. Kau tahu, melihatnya saja di tangan teman-temanku sudah cukup membuatku mati rasa sekujur tubuh.

Sungguh aku ingin punya barang canggih seperti itu. Tapi ....

"Kau mau yang seperti ini?" Adriana bertanya sambil menjajari langkahku saat pulang sekolah. "Itu mudah," ucapnya sambil tersenyum.

Di ranjang berlapiskan tilam kapuk, mataku menerawang. langit-langit kamar bukan menjadi fokus tatapanku dan aku bukan sedang menghitung berapa banyak lubang di atap rumah dan bukan pula menghitung berapa banyak tikus-tikus yang keluar masuk dari sudut sana.

Kadang mereka suka mengganggu dengan membuat kebisingan seperti orang bermain bola. Tapi bayang-bayang sosok Adriana. Kejadian siang tadi masih berputar dalam layar proyektor ingatan ini.

"Sebenarnya bukan cuma barang seperti ini yang bisa kau dapat, ini kecil tidak ada apa-apanya." Gadis berambut panjang itu terlihat jelas sedang ingin melakukan pembicaraan serius, pelan-pelan digiringnya langkahku hingga ke samping pagar sekolah.

"Tapi syaratnya kau harus bekerja. Tidak ada yang gratis." Sambil menyilangkan tangan di depan dada, Adriana menatapku dengan senyum yang kali ini berbeda makna dari senyum sebelumnya. Ia sangat yakin kalau aku akan mendengarkan.

Dan benar adanya kalau rasa penarasan adalah suatu keinginan yang membara untuk tahu tentang hal-hal yang tersembunyi. Rasa itu sangat mencengkram gejolak di dalam dadaku. Lebih dari sepuluh menit pembicaraan itu berlangsung dan untuk beberapa saat aku hanya bisa tertegun.

Jual diri. Singkatnya, itu yang dikatakan Adriana. Siapa pun yang tahu arah pembicaraannya, pasti langsung mengerti seperti mudahnya menebak 1+1 = 2. Ya, saat itu Adriana memang tak tampak menutup-nutupi dari mana handphone canggih yang dimilikinya.

Bayangkan, seorang anak sekolahan sepertiku dan masih memakai rok abu-abu sudah bisa mendapatkan semua yang kuinginkan hanya dengan membiarkan seorang laki-laki tak dikenal menikmati tubuhku dalam cinta sesaat.

Kemudian dari kantong kecilnya akan keluar berlembar-lembar uang berwarna merah dengan nominal yang jarang sekali kupegang. Ya, ya, aku tahu. Faktanya, di kehidupanmu ada teman-teman sekolah yang berprofesi seperti itu, bahkan kenyataan yang tidak bisa ditampik anak berseragam SMP mana pun mampu nekat melakukan hal yang sama.

Hingga malam menuju puncaknya, aku belum bisa berdamai dengan indra penglihatanku. Sepasang mata ini enggan tertutup walaupun untuk sejenak mengambil jeda.

Hatiku mengalami perang dahsyat. Aku memang belum memberikan jawaban yang pasti pada Adriana, apakah aku setuju atau tidak untuk ikut dengannya melakukan jual diri, karena sudah jelas pekerjaan itu sangat bertolak belakang dengan apa pun pengajaran orang tua, agama bahkan guru sekali pun.

Tapi aku sangat menginginkan hidup yang lebih baik, bukan ketertinggalan karena tidak bisa memiliki apa-apa dan tidak bisa membeli apa-apa.

Selama ini aku sudah cukup dituntut untuk mengerti keadaan keluarga, bahkan aku juga tidak pernah menuntut apa pun dari seorang pria dan wanita yang kusebut sebagai ibu dan bapak.

Aku bukan anak yang tidak mengerti kalau menjajakan diri adalah salah satu dosa terbesar yang paling di murkai Tuhan.

Hanya saja begitu banyak bayang-bayang keadaan keluargaku yang melintas di langit-langit kamar, hingga membuat pengertianku tentang kemarahan Tuhan menjadi terkikis sedikit demi sedikit.

Aku tidak bisa lupa saat kakakku, Nuria. Pulang di tanggal gajian, tapi uang yang masih tersegel rapi di dalam amplop itu dengan mudahnya berpindah tangan ke para preman yang mencegatnya di puncak malam.

Beruntung, kakakku bisa pulang dengan napas dan kondisi yang sehat wal'afiat, bukan malah menjadi pemberitaan betapa kejinya pembunuhan.

Atau saat Bapakku yang bekerja menjadi kuli panggul di pelabuhan, tiba-tiba pulang babak belur dipapah beberapa temannya.

Barang-barang yang berniat diangkat oleh beliau di pelabuhan disalah artikan hingga terjadi kesalah pahaman dan laki-laki kesayanganku itu dikira pencuri lalu berakhir dengan beberapa injakan dan pukulan yang berhasil membuatnya tidak bisa pulang dalam keadaan normal. Oh, ya Tuhan.

Ucap syukur masih terkomat-kamit dari mulutku, saat memerhatikan keadaan ibu yang tidak menghadapi kendala dengan para langganan jasa mencucinya.

Aku hanya ingin tidak ada lagi pemandangan sedih tentang keadaan keluarga. Aku juga tak ingin terus-terussan menikmati nasi yang hanya bertemankan krupuk dan sambel terasi, kadang itu bisa berlangsung selama berhari-hari demi menabung untuk membayar uang sekolah.

Berharap kau tidak memprotes atau sinis padaku, karena semua lintasan-lintasan bayangan itu semakin menebalkan keinginanku untuk melanggar aturan Tuhan. Aku sudah membulatkan terkad untuk mengikuti cara kerja Adriana dengan jalan menjual diri. Maaf.  

****

Beberapa hari kemudian setelah memberikan jawaban 'ya' pada Adriana. Aku berakhir di kamar kost miliknya. Luar biasa, mataku berputar ke sana kemari dengan kepala yang elastis mengikuti hampir 180 derajat jarak pandang.

Kamar itu cukup luas dengan berbagai fasilitas lengkap di dalamnya. Di sana Adriana bercerita kalau pekerjaan yang dia "lakukan" sudah lama, sejak SMP. Selama bersama Adriana, kau akan tahu kalau gadis itu tidak pernah melepas senyumnya.

Selain profesinya yang menjajakan diri, ternyata Adriana juga menambah pekerjaannya yang beresiko dengan menjadi mucikari.

Aku sangat terkejut, tapi sebisa mungkin tak kuperlihatkan. Semuda itu Adriana sudah melakukan "double dosa" dalam hidupnya. Bahkan ia menjamin kalau pekerjaan yang dia geluti selama ini terbilang aman.

Ia tidak pernah sekali pun menerima tamu laki-laki walaupun tidak ada larangan dari penjaga kost tentang hal itu, kalau pun harus bertemu, Adriana akan bertemu pelanggannya di luar.

Gadis itu terbilang sangat hati-hati apalagi dengan berbagai pemberitaan yang sekarang ini sedang naik daun tentang pembunuhan para penjaja seks komersial.

"Jangan memakai pakaian yang mencolok seperti anak cabe-cabean. Kita harus kelihatan normal seperti anak-anak remaja yang sedang ingn bersantai untuk menghindari kecurigaan mata-mata orang," ucapnya memberi penjelasan, sekali lagi lengkap dengan senyuman.

Sesaat kemudian, Adriana pamit keluar dengan alasan untuk membeli sesuatu. Kau tahu kan, masa-masa menunggu adalah masa yang melelahkan. Kebosanan mulai membungkusku, kantuk merayapi keinginan untuk memejamkan mata.

Dan akhirnya kepalaku mendarat nyaman di kasur empuk milik Adriana. Dalam lelap, sebuah mimpi siang bolong menyusup pelan, memberikan tayangan mengkhawatirkan.

Ibuku sedang menangis, beliau terlihat duduk sambil berbicara di lantai dapur. Aku berusaha menggunakan telingaku untuk memahami keadaan dan tiba-tiba aku terbangun.

Beberapa menit selanjutnya, aku dan Adriana mempersiapkan diri untuk bertemu pelanggan pertamaku, itu yang dikatakannya. Saat keluar tadi, ia sempat mendapat panggilan seseorang laki-laki di ponselnya dan Adriana mengambil keputusan kalau saat itu adalah kesempatanku memulai pekerjaan kelam.

"Tenang saja, pelanggan pertamamu bukan Om botak yang membawa perut buncit. Laki-laki ini masih keren dan lajang dan tentu saja, tampan." Adriana menyunggingkan senyumnya lengkap dengan kerlingan mata nakal.

Begitu menuju tempat pertemuan yang telah ditentukan, dalam taksi ber-ac, aku duduk gelisah. Dadaku berdentum keras, pikiran kocar-kacir kebingungan menentukan apakah aku harus mengundurkan niat untuk menjual diri atau tidak?

Mimpi siang bolong yang sempat menjambangi tidurku telah membuat goyah, tapi berat untuk menghentikan langkah karena membayangkan uang yang akan kuterima.

Akhirnya, pertemuan itu tetap terjadi di sebuah rumah mewah, walaupun gelisah menguasai hati, aku tetap fokus pada pelanggan pertamaku.

Basa basi terjalin, aku, Adriana dan laki-laki yang masih terbilang umur 30-an itu memulai komunikasi santai sebelum menuju ruang keintiman.

Beberapa jam kemudian semua selesai dengan perasaanku yang berakhir lega.

Masih di hari minggu yang sama, hanya saja kali ini matahari sudah memposisikan diri miring ke arah barat. Aku terduduk di pinggir ranjang sambil menundukkan kepala, saat itu aku pulang ke rumah dengan perih di kedua pipi. Kejadian beberapa jam lalu tak bisa kulupa.

PLAKKK!!!!

Ayunan tangan Adriana mendarat dua kali di pipiku. "Sialan! Seharusnya katakan dari tadi kalau kau tidak jadi melakukan pekerjaan ini. Sekarang aku harus bagaimana? Ini memalukan!"

Kejadiannya terjadi di depan laki-laki itu. Kekecewaan sangat jelas di wajah tampannya sedangkan sumpah serapah tidak juga berhenti meloncat dari bibir Adriana, senyum itu hilang sudah yang ada hanya kemarahan di wajahnya.

Ya, aku berusaha membalikkan keinginan. Sungguh, melawan bujuk rayu dosa dengan embel-embel mendapatkan kemewahan dunia memang bukan hal yang gampang.

Pembatalan diri yang kuat itu kulakukan hanya karena sebuah mimpi di siang bolong. Bunga tidur itu benar-benar berhasil menggagalkan niatku hingga harus menerima hukuman tamparan dan makian dari Adriana.

"Sudahlah, jangan dipaksa kalau tidak mau. Hidup ini perlu uang, biarkan dia pulang, suatu saat dia akan tahu kalau hanya dengan cara ini bisa mendapatkan uang paling instan." Laki-laki itu berucap dengan pandangan sinis.

Aku pun di usir dari rumah mewah itu. Beruntung, beberapa jam yang lalu ketika berpamitan pada ibu dengan menggunakan alasan bohong "kerja kelompok di rumah teman", beliau memberi uang yang ternyata cukup untuk naik angkot.

Sebenarnya saat itu aku tidak mengerti, mengapa tiba-tiba saja ibu memberi uang, padahal aku tidak memintanya. Lagi pula aku tahu kalau ibu sangat jarang sekali memberiku sangu saat bepergian bahkan untuk jajan di sekolah.

Bisa jadi itu pertanda kalau uang pemberian ibu akan membantuku pulang? entahlah, karena faktanya, Adriana tidak mungkin memberi ongkos pulang padaku sebagai tanda kekecewaan.

Kutarik napas panjang seperti yang orang-orang lakukan saat beban yang "tak terlihat" memberatkan bahu. Kau sering melakukan hal seperti itu, kan?

Dan oh ya, aku teringat tentang mimpiku saat tertidur di kost Adriana siang tadi. Bisa kukatakan karena mimpi itulah akhirnya aku pulang tanpa rasa penyesalan, dalam mimpi itu Ibuku menangis sambil terduduk. Dengan wajah memohon beliau berkata.

"Pulanglah nak. Pekerjaan yang akan kau lakukan adalah dosa besar, jangan sampai Tuhan murka pada Ibu dan Bapakmu ini."

SELESAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun