Di dalam pesawat. Lewat jendela penumpang, Aaron menatap sungai Kalimantan dengan tersenyum senang. Beberapa kali bahunya terangkat perlahan mengambil napas seakan lepas dari kekangan. Deni yang duduk bersampingan dengannya di kursi penumpang terlihat asyik dengan majalah di tangan, tapi seolah tahu apa yang dipikirkan Aaron, Deni menegurnya tanpa memalingkan pandangan dari halaman majalah yang dibacanya.
“Kau senang?” tanyanya saat membalik halaman koran.
“Ya, tentu saja. Ini adalah kebebasan yang luar biasa bagiku. Bayangkan saja dengan susah payah aku melepaskan diri dari Cindy. Aku kira ini tidak akan pernah terjadi,” ucap Aaron sambil sesekali menoleh ke arah sahabat di sampingnya.
Kali ini gantian Deni yang menarik napas, tapi tak tampak seperti ingin melepas kelegaan. “Sayang sekali kau harus berbohong padanya tentang hubungan kita. Kau mengatakan kita pasangan ... gay.” Deni mengecilkan suara saat menyebut kata terakhir, tatapannya menyapu seluruh ruangan pesawat dengan waspada dan khawatir, ia tak ingin ada seorang pun di pesawat itu yang mendengar hal sensitif yang baru saja ia katakan.
“Dan itu membuatku merasa aneh,” sambungnya lagi sambil menghela napas, dahinya berkerut tajam dengan beberapa kali gelengan kepala.
“Itu karena aku tidak tahu lagi bagaimana caranya agar perempuan itu bisa melepaskanku. Kau tahu sendiri, ‘kan kalau dia terlalu terobsesi padaku. Lihat saja obat anti depresi yang selalu dia bawa ke mana-mana. Tampak seperti pemandangan yang menyeramkan.”
“Ya dan kau tahu, adikku, Jenna ternyata menyukaimu.”
“Benarkah?” tanya Aaron, antusias. Sebenarnya sejak dulu laki-laki itu juga menyukai Jenna, hanya saja ia belum menemukan waktu yang tepat untuk mengatakan perasaannya.
“Ya. Dan aku memarahinya,” ucap Deni santai sambil menutup koran dan menyandarkan kepala di bahu kursi.
“Kenapa kau lakukan itu?”
Dengan tersenyum lucu, Deni menjawab. “Aku hanya ingin menjahilinya.”
SELESAI