Mohon tunggu...
Gravity Bind
Gravity Bind Mohon Tunggu... Direktur PT. Kasanah Group -

Life Is Learning, Life is Helping, Life isn't Alone. Life is A Hope

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Bentuk Satu Nilai: Memaknai Rumah

7 Mei 2016   08:38 Diperbarui: 7 Mei 2016   08:50 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku Makan Malam Bersama Gita Gutawa karya Mia merupakan perpaduan antara lagu-lagu dalam album The Next Chapter dengan cerpen

Di satu sisi, Gita Gutawa mengawali kariernya kembali di dunia musik dengan meluncurkan single terbarunya, Rumahku. Pasca kelulusan pendidikan master di Inggris, kerinduannya akan rumah dirangkai dalam bait-bait lagu. Single itu sempat beberapa kali mengudara di berbagai media. Rumahku menjadi suara hati Gita yang memendam kerinduan karena telah lama berpisah dengan rumah.

Di sisi lain, dengan medium yang berbeda, Rumahku dirangkai menjadi sebuah cerita pendek (cerpen). Cerpen berjudul Rumahku menjadi salah satu cerpen menarik di buku Makan Malam Bersama Gita Gutawa karyaMia. Sehimpun cerita ini merupakan intepretasi lagu-lagu Gita Gutawa dalam album The Next Chapter. Ada sebelas lagu dan sebelas cerita yang saling berkelindan antara satu lagu dengan satu cerita. Salah satunya adalah lagu Rumahku dengan cerpen yang berjudul sama Rumahku.

Meski sedikit berbeda dari pengalaman realitasnya, baik lagu maupun cerpen berjudul Rumahku mengandung makna yang sama tentang rumah. Bagi Gita, lagu Rumahku adalah suara hatinya yang merindukan rumah lengkap beserta keluarganya. Sedang dalam cerpen, Ahmad Munif sebagai tokoh utama merindukan rumah yang tak sekadar bangunan fisik namun disertai kehangatan keluarga di dalamnya.

Cerpen Rumahku bercerita tentang seorang bocah bernama Ahmad Munif yang menjadi korban tsunami Aceh. Mengambil seting cerita di Meulaboh, Munif adalah satu-satunya korban selamat. Ibu, adik, kakek, dan bibinya meninggal saat bencana itu terjadi. sedang ayahnya masih gaib keadaannya karena tidak tubuhnya tidak ditemukan. Pesan terakhir ayahnya sebelum bencana itu terjadi adalah sebuah serunai. Ayahnya yang seorang pemain serunai selalu mengajarkan anaknya untuk memaknai rumah dari lantunan serunai. “Ini adalah rumah barumu. Bangunlah dan rawatlah,” begitu pesan terakhir ayahnya.

Alhasil, ketika tak ada lagi yang tersisa, Ahmad tak punya pilihan lain selain mencari tahu maksud pesan terakhir ayahnya itu. Dia bekerja di jalanan demi mengumpulkan uang. Uang itu kemudian berhasil dibelikan serunai baru untuk menggantikan serunai lamanya yang rusak karena terkoyak tsunami.

Ahmad menolak untuk membangun rumah baru di tanah yang telah menikam keluarganya. Baginya, rumah yang dibangun pasca tsunami adalah sebuah kekalahan yang paling menyedihkan. "Rumah yang dibangun itu tidak akan sama lagi. Itu memang berwujud rumah, tapi itu bukan lagi rumah. Aku harus mencari sendiri dan membangun rumahku. Rumah yang dibangun dengan pondasi kekeluargaan, berdinding kasih sayang, bertiang kehangatan dan senyuman, serta beratap perlindungan." (hal. 60)

Ahmad memutuskan ikut sebuah kompetisi pencarian bakat agar ia bisa mencari ayahnya yang masih misteri. Ahmad berhasil lolos, dan yang mengejutkannya adalah ketika tiket tersebut tertulis sebuah pesan yang sangat ia kenal. Dari seseorang yang selama ini dia cari, satu-satunya bagian keluarga yang tersisa. Orang yang bisa mengisi kekosongan rumah. “Rumahmu sudah jadi. Teruslah merawatnya.” (hal. 63)

Dari dua bentuk yang berbeda, baik lagu yang dilantunkan Gita maupun cerita perjalanan Ahmad Munif, kita bisa menarik satu pelajaran tentang pentingnya  keluarga dalam sebuah rumah. Ia cikal bagi sebuah peradaban masyarakat. Jika rumah dan keluarganya baik, maka peradaban bangsa itu juga baik. Mengutip Arkaf, “keluarga dan rumah ibarat dua sisi mata uang, semestinya satu paket tidak terpisahkan.”

Memaknai Rumah

Keluarga adalah habitus pertama manusia memulai kehidupan. Keluarga pula menjadi awal muasal relasi kemanusiaan untuk mencipta peradaban. Tak heran jika Gustavo Arkaf menanyakan, “Apakah institusi tertua di dunia?”. Dia—Arkaf—menyatakan dengan tegas, “Keluarga!”

Keluarga begitu penting dalam membangun kualitas seorang manusia ke depan. William Bennett, pakar pendidikan dalam bukunya Moral Literacy and The Formation of Character: Moral Character and Civil Education in the Elementary School (1991) mengatakan keluarga adalah lingkungan paling afektif dan efektif tempat anak mendapatkan berbagai aspek pendidikan yang mendasar. Apabila keluarga gagal menanamkan kejujuran, keberanian, dan semangat ingin maju, serta kemampuan-kemampuan mendasar lainnya, akan semakin sulit bagi lembaga pendidikan lain memperbaikinya.

Obama pada konferensi pers perdananya tahun 2009 mengungkapkan, “It is not acceptable for children and families to be without a roof over their heads in a country as wealthy as ours.” Apa yang diungkapkan oleh Obama maupun Bennett memiliki esensi yang sama dengan pesan nenek moyang kita. “Mendidik anak laksana memahat di atas batu. Mendidik orang dewasa laksana menulis di atas air.”

Rumah selayaknya ibu dan manusia layaknya seorang anak.  Sebagaimana ibu, rumah adalah tempat yang selalu terbuka untuk menerima berbagai aduan kesedihan, ratapan kekalahan, dan luapan kebahagiaan. Rumah pula tempat untuk mendapatkan kasih sayang, tempat kembali, dan pusara yang begitu tenang untuk sejenak melepas berbagai tekanan hidup di luar sana. Tak heran jika rumah menjadi inspirasi Ibu Soed dalam lagunya yang berjudul Tanah Airku: Tetapi kampung dan rumahku/ Di sanalah kurasa senang/ Tanahku tak kulupakan/ Engkau kubanggakan.

Diakui oleh Mia, cerpen yang menurutnya paling menyentuh adalah Rumahku. Dari lirik yang tidak terlalu berat dinikmati, cerpen Rumahku yang termaktub bersama lagu-lagu lain bisa dijadikan sebuah pelajaran memaknai rumah. Bagi Gita, rumah adalah pijakan pertama yang paling besar dalam mengantar dirinya hingga saat ini. Tanpa rumah yang menaungi kehidupannya dan tanpa keluarga yang membesarkannya, ia tak pernah mencapai prestasi seperti sekarang. Tak heran jika begitu dalam ia menuliskan lirik: Ohh aku ingin pulang, bersamamu aku tenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun