"Lepaskan! Tolong saya, Pak Kuwu!" teriakku histeris.
"Diam!" seru Kang Kardi seraya menamparku.
Panas dan perih. Aku termangu. Sesuatu yang asin terasa di bibirku. Kang Kardi kembali menyeretku. Sebagian warga hanya menonton, sebagian mulai merangsek ke arahku lalu meraih bajuku, mencoba membuka paksa.
"Tolong! Tolooong, Murji! Pak Kuwu! Siapa pun tolong aku!" Aku meronta-ronta histeris.
"Diaaam!"
Kang Kardi mencabut golok kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Kupejamkan mata dan berharap semua hanyalah mimpi.
Detik berikutnya, terdengar suara menggelegar dari belakang. Aku membuka mata. Kang Kardi menghentikan ayunan tangannya. Menyusul kemudian, beberapa orang menyeruak kerumunan.
"Kak! Kak Rani, kamu baik-baik saja?" teriak Murji. Tubuh mungilnya menyembul di antara tubuh-tubuh besar warga. Ia kemudian menarik tanganku dan memelukku erat. Dengan gemetar aku membalas pelukannya. Rupanya Murji membawa seluruh kelompok mahasiswa untuk menyelamatkan nyawaku.
"Tenang, bapak, ibu, saya akan jelaskan semua." Itu suara Kak Judy, ketua kelompok kami.
"Memang di sana akan ada badai, berpotensi banjir bandang, bahkan tanah longsor. Saya sudah memasang alat deteksi pergerakan tanah. Ini, lihatlah rekamannya. Ada pergerakan tanah kuat di bukit dan Hutan Larangan. Kita semua dalam bahaya apabila tidak mengungsi!" jelasnya. Dia segera memperlihatkan monitor yang menampakkan gambar pergerakan tanah. Kak Judy memang mahasiswa Fakultas Geologi yang pernah menjadi ketua BEM, karena itu ia bisa menjelaskan dengan tenang dan gamblang berdasarkan fakta ilmiah.
"Baiklah, kita harus mengungsi segera. Bawalah perbekalan penting secukupnya, jangan terlalu banyak. Bersiaplah naik ke atas bukit!" Pak Kuwu memerintahkan evakuasi. Lalu, titir bersahut-sahutan membelah malam, diselingi teriakan pengungsi ke Bukit Gerbang.