"Kakak sudah mengambil air wudu dan bawa perbekalan. Kamu mau ikut?"
"Ikuuut, Kak!" seru Murji, yang akhirnya membantuku mempersiapkan tempat salat.
Surya semakin tenggelam, desa di lembah nun jauh di sana itu berubah menjadi jingga. Sungguh indah. Bukit mulai menggelap seiring sang surya tenggelam. Sayup-sayup suara azan mengalun dari arah lembah. Aku pun menyiapkan air untuk dijerang di atas api unggun.
Selesai salat Magrib, dari atas puncak bukit ini, terlihat hamparan pemandangan desa di lembah yang semakin indah dan terasa sangat syahdu. Aku khusyuk dan tiba-tiba merasakan getaran yang aneh. Terasa sangat asing, tak seperti biasanya. Aku merasakan sesuatu yang lain akan terjadi.
Semakin malam, kulihat langit tanpa bintang. Mendung tebal bergelayut dan bergulung-gulung. Hatiku mendadak berdebar dan gelisah.
"Murji, kita harus segera pulang dan peringatkan warga desa!" Entah kenapa tiba-tiba aku mengatakan hal ini. Murji yang sedang menuang kopi panas terperenyak.
"Ada apa, Kak?"
"Kakak merasa warga desa dalam bahaya. Ada yang akan terjadi malam ini."
Tanpa banyak bicara lagi, Murji membereskan peralatan kemping kami. Bergegas, kami turun menelusuri bukit. Sungai terdengar bergemuruh. Kutengok perbukitan Hutan Larangan di kejauhan sana, tampak gundul sisa pembalakan liar, ulah manusia serakah. Rasa khawatir terus menyergap. Sambil berjalan kupikirkan apa yang akan kusampaikan pada masyarakat desa nanti.
Kami tiba di desa jelang isya. Aku langsung menyuruh Murji menghubungi markas KKN kelompokku. Sementara aku menuju pos ronda dan membunyikan kentungan dengan suara titir petanda bahaya.
Mendengar suara kentongan, dalam sekejap warga desa berdatangan.