Bisikan-bisikan yang Didengar Maharani
Oleh: Gloria Pitaloka
Senja merona di perbukitan gundul. Sang surya telah menundukkan wajah, debu bersama daun kering beterbangan ketika geliat angin semakin membesar. Angin menerpa kulitku, kering dan berdebu.
Sudah hampir setahun ini kemarau panjang, ditambah keadaan perbukitan yang gundul menambah parah keadaan. Di ujung sana, Hutan Larangan tampak penuh pergerakan para pembalak liar.
Bukan sekali dua, aku mengingatkan warga agar tidak menebang pohon di hutan. Namun, bukannya mengindahkan mereka malah memfitnah dan menyerangku dengan beragam prasangka. Apalah daya, aku hanya seorang mahasiswi KKN.
"Kak Rani!" teriak seseorang. Sesosok anak lelaki umur dua belas tahun muncul dari balik batu arah jalan menuju lembah.
"Kau di sini, Murji?"
"Aku yang harusnya tanya itu ke Kakak! Aku mencari Kak Rani, sekarang sudah hampir magrib, nanti digondol kelong wewe, lho, anak perawan sendirian di atas bukit," kata Murji sambil bergidik.
Aku hanya tertawa kecil. "Kakak mau melihat matahari tenggelam di bawah sana."
"Jangan, Kak. Nanti kita salat Magrib di mana?" tanya Murji heran.