Meskipun ia  lelah dan lapar, El sempatkan sholat di sudut ruang beralaskan sejadah yang selalu ia bawa. Selesai sholat ia berbuka shaum karena sejak tadi, azan  maghrib sudah berkumandang. Air putih hangat mengalir membasahi tenggorokannya yang kering. El mengucap syukur. Kemudian, sebungkus takjil mengisi lambungnya yang kosong.
Selesai makan, El membereskan ruangan yang berantakan dan berdebu itu. Mencuci peralatan, mengangkat baju yang tergantung, membakar kotoran di perapian, dan mencuci baju yg masih layak pakai, lalu menjemurnya di sebuah tali rapia.
Adzan Isya berkumandang, El menatap si nenek, mencium pipinya. "Nek, aku pergi dulu, ya. Maaf, tak bisa menemanimu. Semoga Allah dan berkah Ramadhan ini yang akan menjagamu. Kutitipkan Nenek pada-Nya dalam doaku."
Dengan sedih, El pergi meninggalkan nenek sebatangkara. Sampai di rumah, hari sudah malam.
Sore hari sepulang mengajar, El mendapati kabar, Nenek Asmi--jompo 100 tahun yang tak diurus keluarganya--sudah meninggal tepat pukul dua belas siang karena terjatuh, ketika mencoba keluar rumah. Ia ditemukan sudah tak bernyawa oleh tetangga. Ketika El datang untuk bertakziah, anak-anaknya sudah berkumpul di rumah tua yang selama ini tak pernah mereka sambangi, dan mereka sedang berebut warisan.
Padahal, El hanya ingin melihat dan mengurus jenazah nenek untuk terakhir kalinya. Namun, ia malah menyaksikan perseteruan ahli waris keluarga nenek.
"Allah lebih sayang padamu, Nek Asmi. Kini, Nenek sudah bahagia di surga-Nya. Aku kan mendoakan Nenek selalu." El membatin.
El melangkah pergi tak memedulikan perseteruan para ahli waris yang memperebutkan harta warisan berupa lahan kebun yang luas dan sawah.
Dia juga tak peduli, ketika Ustaz menyebutkan wasiat yang sempat ditinggalkan Nenek sebelum meninggal dengan saksi tetangga, kalau nenek; menghibahkan sepertiga hartanya pada orang yang mengurusnya, juga masjid.
Tetangga tahu, hanya El yang mengurusnya setiap hari. Namun, tentu saja ahli waris tak terima, meskipun El menolak. Mereka marah dan menuduhnya mengada-ngada. Sayangnya, wasiat itu memiliki banyak saksi.
Ustaz pun menyusul El yang pergi begitu saja, dan memaksanya menerima "kanjut kunang"--kantong kain serbaguna-- wasiat terakhir Nenek untuk diberikan ke dirinya yang oleh ahli waris, dianggap sampah tidak berharga.