"Ini, THR-nya disatukan dengan gaji bulan ini, diberikan lebih awal sebelum libur besar tiba. Dan ini, ada titipan zakat dari toko Mas Berkah. Minal Aidzin wal'faidzin, ya," ujar Ibu Kepala Sekolah.
El menerima dua amplop berwarna putih dengan tangan gemetar. Sebuah plastik berwarna merah, turut serta ia terima. Isinya, sekilas ia melihat ada beberapa bungkus biskuit kelapa dan biskuit lainnya.
"Alhamdulillaah." El mengucap syukur dan berterima kasih atas rejeki yang diterima dari  yayasan tempatnya mengajar.
Di dalam angkot yang membawanya. El mencoba mengintip isi kresek merah lebih jelas lagi. Selain biskuit kelapa, ada biskuit keju dan coklat, susu manis kaleng, dan roti kasur, terdapat juga; sebungkus gula pasir, minyak sayur, mie instan 5 bungkus, dan satu kain sarung.
Ada dua amplop, salah satu bertuliskan infaq 2.5 % Toko Mas Barokah. Penasaran El mengintip isinya. Amplop pertama ia buka berisi satu lembar 10 ribu rupiah  dan satu lembar 5 ribu rupiah. Amplop kedua, berlogo TKIT Al Hasan, ia menemukan uang yang ketika dihitung dengan matanya, total jumlah sekitar 190 ribu rupiah.
El berangkat mengajar dari rumah pukul enam pagi, dan pulang pun sudah pukul enam sore. Meskipun gajinya tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-harinya, bahkan untuk jajan telur puyuh, atau bakso ikan setiap hari di depan sekolah--yang aromanya menggiurkan lidah El--ia tak pernah mengeluh. El, dia bahagia, bisa berbagi ilmu untuk anak-anak yang lucu-lucu itu.
Tahun 2005 di desanya, masih sedikit lapangan pekerjaan terutama untuk perempuan. El sangat bersyukur selepas lulus SMA, dia masih bisa diterima mengajar tanpa harus berijazah PGTK. Sementara teman-teman sekampungnya, jika tidak merantau, mereka harus terima nasib--harus menikah muda dan berakhir jadi ibu rumah tangga.
Sebelum angkot sampai rumah, El menghentikan di depan gardu pos yang ada di kampungnya. Di sampingnya, ada jalan setapak menuju kebun. Dia turun dari kendaraan dan menapaki jalan tanah setapak itu tanpa rasa takut. Dalam remang senja jelang maghrib, El memasuki sebuah rumah tua yang hampir ambruk. Rumah itu gelap gulita.
"Assallamu' alaikum," salamnya, meski tak ada yang menjawab. Dengan cekatan tangannya menyalakan pemantik api yang selalu ia bawa di tasnya. El menempelkan api pada cempor di sudut ranjang. Setelah cempor menyala, tampak di ruangan gelap gulita itu sosok nenek yang sedang terbaring di atas ranjang besi tua beralaskan tikar yang sudah koyak. Ia menjerang air di atas perapian batu yang juga ada di ruangan itu.
Setelah air matang, El menyeduh susu. Â Kemudian, ia mengeluarkan bubur yang sempat dibelinya di depan TK tadi. Dengan cekatan ia membangunkan si nenek. mengelap tubuhnya dengan air hangat, juga membersihkan kotoran di pantatnya. Lalu memakaikan baju yang bersih.
Setelah terlihat segar, kemudian El menyuapi nenek renta itu. Si nenek yang matanya rabun dan hanya bergumam tak jelas itu menerima suapannya. Setelah selesai, ia meminumkan susu. Kemudian, diselimutinya si nenek dengan kain sarung hadiah THR.