“Aku ingin memotretmu, duduk lah. Bisa juga kau berdiri agak ke depan sedikit,” ujar perempuan tua sambil mengeluarkan sesuatu dari tas usangnya.
Lelaki pengembara masih dikelilingi rasa takjub, bagaimana bisa sosok yang diincarnya raib begitu saja. Ia melihat jam tangannya, mungkin saja malam terlalu larut bagi gadis model, sehingga pergi lekas-lekas tanpa setahunya.
Tatapannya jelas melihat jarum jam menunjuk pukul 11.30 malam, namun ia juga melihat tangan yang asing, tangan yang mirip si nenek, penuh lipatan kulit, berbintik-bintik cokelat. Tangan siapa ini?
“Sudah kubilang, sang waktu lebih berkuasa, dan tidak akan menyisakan lebih banyak lagi buat kita.” Sekalimat yang terontar dari bibir perempuan tua, memaksa lelaki itu merebahkan diri di kursi besi jalanan yang sangat dingin, seperti menusuk-nusuk pahanya.
Sementara di sebuah bar, seorang perempuan muda baru saja memesan wine dan seorang lelaki memesan chivas on the rock di bar yang lain. Keduanya melontarkan pertanyaan yang sama kepada Bartender.
”Apakah engkau melihat orang ini?” ujar keduanya hampir bersamaan, seraya memperlihatkan selembar sobekan majalah.
“Di kota kenangan ini, antara ingatan lama dan realita bercampur baur, seperti kisahan novel,” ujar Bartender.
*****
Granito 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H