Mohon tunggu...
Granito Ibrahim
Granito Ibrahim Mohon Tunggu... Desainer Grafis -

Fotografer jalanan dan penulis fiksi yang moody.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kota Kenangan dan Pengembara Visual

6 Juni 2017   09:55 Diperbarui: 6 Juni 2017   17:00 2461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dok.pribadi

Lelaki pengembara menemukan sosok yang selama ini dia cari-cari dari satu jalan ke jalan, dari kota ke kota. Bila saja dompetnya tebal, setiap negara akan dia kunjungi. Tapi, penemuan macam apa, perjumpaan sedahsyat apa? Seberapa bergetar hatinya dan sejauh mana pikirannya berkelana? Tidak ada yang tahu, tentu saja.

Layaknya para pemotret legendaris, setiap detik ada harganya. Setiap momen harus direkam sekarang, bukan nanti atau esok. Maka, lelaki pengembara visual itu semakin mendekati si model. Dan pada jarak tertentu, kira-kira dua puluh meter, ayunan kakinya berhenti.

“Aku rasa dia cocok mengisi halaman tengah majalah fesyen. Jika aku memotretnya dari samping, profilnya membentuk paduan garis lengkung dan lurus secara harmonis. Foto hitam-putih akan maksimal buat komposisi itu.” Lelaki itu mulai menghitung-hitung, mengira-ngira. Alam kreativitasnya sedang bekerja mendesain gambar, yang barangkali kelak akan dicatat sejarah sebagai foto terbaik sepanjang masa. Senyumnya merekah memikirkan hal itu.

***

“Kapan kau mengajakku ke studio, aku sudah siap.”

“Berapa fee-mu, aku harus tahu dulu.”

“Untuk frame pertama, tak usahlah membicarakan bayaran. Aku masih bisa makan, minum dan sebagainya. Pelajari apa yang kau perlukan dulu. Sesudahnya mari kita berhitung.”

Si model sudah mengira-ngira apa yang akan dibicarakan sekiranya malam itu seorang fotografer menemuinya dan mengajaknya dalam sesi pemotretan. Lalu dia menyalakan rokok, bersamaan dengan butiran salju yang turun. Tanggal berapa sekarang, apakah Natal telah tiba?

Tapi, tidak ada orang tua berjanggut putih, berbaju merah, membagi-bagikan hadiah. Tidak terdengar pula anak-anak menyanyikan lagu kudus. Si model merapatkan kancing bajunya, tampaknya suhu semakin turun.

Sementara si lelaki berhenti sebentar, meraba-raba tas kecil yang dia bawa tersembunyi dari jas musim dingin. Astaga, mana kameraku? Apakah tertinggal di halte bis yang sesak oleh penumpang berkulit hitam? Atau, sekelompok pemuda latin yang barusan berpapasan dengannya mencopet barang berharga satu-satunya itu?

“Aku bukan jongos kamera. Aku tak bergantung peralatan.” Dia berkata sendirian dan hanya bisa didengar oleh kupingnya sendiri, sambil terus mendekati si model. Jarak mereka tinggal tujuh meter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun