Mohon tunggu...
Granito Ibrahim
Granito Ibrahim Mohon Tunggu... Desainer Grafis -

Fotografer jalanan dan penulis fiksi yang moody.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sekafe Kesepian dan Akuarium Kosong

25 Oktober 2016   08:25 Diperbarui: 25 Oktober 2016   08:53 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia merebahkan pahanya pada bangku merah kesukaannya di pojok kafe. Dari situ Dia dapat menyapu pandangan ke segala arah: menatap pengunjung yang baru datang, memerhatikan seorang perempuan yang nampak kesepian atau mengamati barista yang serius dengan pekerjaannya.

Dia juga dapat memastikan, sebentar lagi seorang pemotret akan datang sekitar jam 5 sore. Biasanya si pemotret duduk sendirian, membuka notebook-nya, mungkin menyunting hasil jepretannya. Dan ada satu lagi; kehadiran pemuda ganteng, penggemar tayangan sepak bola yang terpampang di layar TV di sudut kafe, berseberangan dengan Dia.

Dia, barista, si pemotret, perempuan kesepian, dan si ganteng. Lima orang yang sudah sepuluh tahun kerap menghabiskan waktu di kafe itu. Mereka telah akrab secara alamiah. Dan sepertinya mereka tak perduli soal kejadian terkini: tentang kasus kopi bersianida, pilkada serentak, masalah penggandaan uang atau gonjang-ganjing seputar artis terkenal yang kena tipu.

Beberapa kali si ganteng mencoba bercakap-cakap seputar kemenangan Manchester United, tapi perempuan kesepian hanya tersenyum sambil menyemburkan asap rokok mentolnya. Si pemotret kadang menimpali dengan ocehannya, menurutnya Real Madrid jauh lebih baik permainannya.

“Real Madrid bukan klub yang haus kemenangan, mereka hanya jualan kaos,” ujar si ganteng.

“Justru di situ uniknya. Dan Real Madrid menjadi satu-satunya klub bola yang sehat keuangannya. Tidak punya hutang, bahkan meraup keuntungan besar beberapa tahun belakangan,” tanggap si pemotret.

Si pemotret seperti memukul telak ulu hati si ganteng, lalu meneruskan tatapannya ke arah notebook. Dia, dari mejanya dapat melihat puluhan foto yang sedang dipilih pemotret secara teliti dengan kacamata plus.

Tahun-tahun yang silam, si pemotret sesekali membidik kamera ke perempuan kesepian, kadang ke Dia, kadang lagi ke si ganteng. Pernah juga memotret barista dan akhirnya ke segenap penjuru kafe, termasuk akuarium yang letaknya persis di samping Dia. Keempat orang itu acuh saja. Si pemotret seperti kehilangan ide, tak tahu lagi apa yang harus difoto. Namun, Dia tahu, laki-laki tersebut sedang menebus kehampaan hidupnya, setelah tahun lalu istrinya minta cerai. Harusnya si pemotret mendalami street photography saja, supaya kreativitasnya meletup-letup lagi, pikir Dia.

“Istriku memilih laki-laki lain yang pendapatannya tetap dan hidupnya teratur,” keluh si pemotret kepada barista pada suatu ketika.

“Ah, saya yakin, bapak akan mendapat gantinya yang lebih baik, yang lebih cantik,” tanggap barista sambil membuat susu kukus untuk cappuccino, kesukaan si ganteng. Tanggapannya disertai lirikan tertuju ke perempuan kesepian. Perempuan secantik itu, bertahun-tahun sendiri. Cocok kiranya bersanding dengan pemotret,pikir barista. Apalagi yang ditunggu? Ayo, rayulah, ajaklah bicara, kencani dan hapus semua kesepiannya. Aduh, pribadi introvert, susah sekali memulai sesuatu, ya.

Tapi, perempuan kesepian justru sering bicara tentang akuarium: Mengapa harus air tawar dan bebatuan yang nampak gersang? Mengapa tidak diisi saja dengan terumbu karang warna-warni, atau landskap tanaman air, atau ikan buas eksotik dari Amazone?

“Aku kenal dengan seorang ahli ikan. Jika kafe ini membutuhkan, bisa aku hubungi sekarang,” kata perempuan kesepian.

“Dulu aku juga pengemar akuarium, bahkan sejak mahasiswa. Aku masih hafal bagaimana memelihara biota air laut,” ujar Dia.

“Kau usulkan diganti saja isinya. Biar pemandangan kafe ini sempurna.”

“Aku malah memilih dibiarkan tanpa ikan, karang, atau apa pun. Hanya air dan gelembung udara. Cukup.”

“Maksudmu bagaimana? Melihat kekosongan kayak orang tolol.”

“Ya, biarkan cuma air, transparan, tapi menimbulkan riak gelap terang bergerak-gerak. Dan gelembung-gelembung udara akan menciptakan irama. Pikiran kita lah yang mengisinya. Semau kita.”

“Aku sudah lama kesepian, rasanya melihat diri sendiri kalau memandang akuarium tanpa mahluk.”

“Itu maksudku,” kata Dia.

Pemotret menimpali, ada kalanya ruang tanpa apa-apa menjadi lebih berarti.

“Komposisi tidak harus selalu penuh elemen. Semacam menyambut kehadiran kedamaian saat memandang ruang kosong yang sebenarnya tidak kosong melompong. That is not a blank space, it is a white or light blue space. Anggap saja sebagai terapi visual.”

Benar juga, pikir perempuan kesepian. Kesendiriannya malah menimbulkan aneka gejolak hati dan pikiran. Seperti disusupi orkestra; persoalan sekaligus solusi –bermain secara bersamaan, seolah turun-naik barisan nada pada aransemen musik; ketukan perkusi, sayatan biola, dentuman bas, dan lengking alat musik tiup.

“Tapi di kafe ini, kesepianku malah lenyap. Aneh bukan?” ujarnya lirih. Kata-katanya hampir tak terdengar, ditelan suara Bob Dylan.

Sepuluh tahun lalu, ketika lagu Blowing in the Wind memenuhi udara di ruangan kafe, keempat orang pengunjung tetap itu datang pertama kali mencicipi kopi dan croissant. Mereka menyempatkan mengintip isi dapur dari jendela kecil berkaca, sehingga dapat melihat bagaimana chef menghabiskan waktu dan tenaga membentuk adonan pastry yang berlapis-lapis.

Sementara barista baru seminggu bekerja, saat itu mesin kopi baginya masih menyeramkan, salah penggunaan akan fatal akibatnya. Beberapa tetes keringat timbul di pelipis dan dahinya. Dan belum tahu pula, mengapa biji-biji kopi itu berlainan ukurannya. Ia hanya bertugas membuat minuman, menguasai mesin kopi dengan benar, menyetel seberapa kadar uap untuk susu kukus, serta berlatih mengingat-ingat komposisi serangkaian minuman berbahan dasar kopi.

“Aku tak menyangka, makanan yang sepintas sederhana dibuat begitu rumit,” ujar perempuan kesepian.

“Betul, sama rumitnya dengan sepak bola.” Si ganteng menanggapi tanpa berusaha menarik perhatian. Hanya jawaban spontan.

Si pemotret merekam momen itu dengan mata terpicing sebelah. Tapi, Dia malah memerhatikan beberapa orang sedang menyusun tatanan akuarium, sistim filterisasinya dan lampu yang digunakan. Dia memang terobsesi dengan biota laut. Sayang, Dia tidak bisa berenang, gagal menjadi diver dan gagal pula memiliki akuarium laut di apartemennya yang sempit.

Lima tahun sesudahnya, pemotret datang bersama anak dan istrinya. Dia datang dengan kekasih baru, si ganteng hadir bersama lelaki yang ganteng juga, dan perempuan kesepian bercakap mesra dengan lelaki yang sepuluh tahun lebih tua.

 “Aku tak mengira kamu menjadi ahli kopi. Aku pikir bakat melukismu kau teruskan.” Perempuan kesepian melongok pekerjaan barista.

“Membuat kopi juga seni, kan? Eh, kamu masih semanis zaman SMA, belum nikah?”

“Sebenarnya aku ingin menikah dengan seniman gila macam kamu, jujur saja.”

“Kamu memang cinta pertamaku. Namun, aku rasa, aku tak layak bersamamu. Hidupku biasa-biasa saja, pendapatanku tak seberapa, sulit membayar segala kebutuhan untuk kecantikanmu. Dan, aku bukan seniman betulan.”

“Sialan, kamu pikir aku cewe matre, ya?”

Dia menangkap pembicaraan itu, kupingnya berkelana, meski pacar barunya sedang berusaha mati-matian menjelaskan betapa besar cintanya terhadap Dia. Cinta tidak butuh penjelasan, tidak butuh proposal, cinta butuh pembuktian seperti terdakwa yang dituduh membunuh. Bisa kau jelaskan, benar kah orang itu bersalah atau tidak?

“Kamu menatap cowo ganteng itu terus menerus, memangnya kenal?” tanya pacar baru Dia.

“Kenal sekali. Itu temanku semasa putih abu-abu. Dulu ujung tombak tim sepak bola sekolah kita. Pernah akan direkrut Persija. Tapi urung, sejak kaki kirinya diamputasi akibat kecelakaan motor.”

“Sekolah kita?”

“Ya. Aku, si ganteng, perempuan itu, si pemotret, dan barista, adalah teman satu SMA-ku,” kata Dia.

Pada akhir kata, pacar baru Dia memutuskan hubungan. Dia enggan menikah dalam waktu dekat, dan menolak untu diajak tinggal di Amerika bersama pacar barunya.

“Aku ingin di sini saja, aku cinta laut Indonesia dan aku sedang belajar berenang. Maafkan... “

Pada saat yang bersamaan, perempuan kesepian membuka secarik surat setelah laki-laki yang sepuluh tahun lebih tua berdiri lalu melangkah pergi. Dan di meja lain, si pemotret mencium kening kedua anaknya, sebelum dibawa pergi oleh istrinya. Hari itu, hari terakhir mereka hidup bersama.

Oke kalau begitu, akuarium itu sepakat kita biarkan kosong saja,batin barista seraya memandang ke seluruh penjuru kafe kecil miliknya.

“Kita semua bunuh diri saja. Mungkin itu jalan yang terbaik. Namun, aku rasa, lebih baik membunuh kesepian kita masing-masing, kemudian menempuh jalan yang lebih baik,” ujar seorang laki-laki tua, ayah si ganteng. Kemudian beranjak dari tempat duduknya.

For the times they are a-changin’...desah Bob Dylan dari balik speaker.

*****

Granito, Oktober 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun