“Sialan, kamu pikir aku cewe matre, ya?”
Dia menangkap pembicaraan itu, kupingnya berkelana, meski pacar barunya sedang berusaha mati-matian menjelaskan betapa besar cintanya terhadap Dia. Cinta tidak butuh penjelasan, tidak butuh proposal, cinta butuh pembuktian seperti terdakwa yang dituduh membunuh. Bisa kau jelaskan, benar kah orang itu bersalah atau tidak?
“Kamu menatap cowo ganteng itu terus menerus, memangnya kenal?” tanya pacar baru Dia.
“Kenal sekali. Itu temanku semasa putih abu-abu. Dulu ujung tombak tim sepak bola sekolah kita. Pernah akan direkrut Persija. Tapi urung, sejak kaki kirinya diamputasi akibat kecelakaan motor.”
“Sekolah kita?”
“Ya. Aku, si ganteng, perempuan itu, si pemotret, dan barista, adalah teman satu SMA-ku,” kata Dia.
Pada akhir kata, pacar baru Dia memutuskan hubungan. Dia enggan menikah dalam waktu dekat, dan menolak untu diajak tinggal di Amerika bersama pacar barunya.
“Aku ingin di sini saja, aku cinta laut Indonesia dan aku sedang belajar berenang. Maafkan... “
Pada saat yang bersamaan, perempuan kesepian membuka secarik surat setelah laki-laki yang sepuluh tahun lebih tua berdiri lalu melangkah pergi. Dan di meja lain, si pemotret mencium kening kedua anaknya, sebelum dibawa pergi oleh istrinya. Hari itu, hari terakhir mereka hidup bersama.
Oke kalau begitu, akuarium itu sepakat kita biarkan kosong saja,batin barista seraya memandang ke seluruh penjuru kafe kecil miliknya.
“Kita semua bunuh diri saja. Mungkin itu jalan yang terbaik. Namun, aku rasa, lebih baik membunuh kesepian kita masing-masing, kemudian menempuh jalan yang lebih baik,” ujar seorang laki-laki tua, ayah si ganteng. Kemudian beranjak dari tempat duduknya.