“Tapi di kafe ini, kesepianku malah lenyap. Aneh bukan?” ujarnya lirih. Kata-katanya hampir tak terdengar, ditelan suara Bob Dylan.
Sepuluh tahun lalu, ketika lagu Blowing in the Wind memenuhi udara di ruangan kafe, keempat orang pengunjung tetap itu datang pertama kali mencicipi kopi dan croissant. Mereka menyempatkan mengintip isi dapur dari jendela kecil berkaca, sehingga dapat melihat bagaimana chef menghabiskan waktu dan tenaga membentuk adonan pastry yang berlapis-lapis.
Sementara barista baru seminggu bekerja, saat itu mesin kopi baginya masih menyeramkan, salah penggunaan akan fatal akibatnya. Beberapa tetes keringat timbul di pelipis dan dahinya. Dan belum tahu pula, mengapa biji-biji kopi itu berlainan ukurannya. Ia hanya bertugas membuat minuman, menguasai mesin kopi dengan benar, menyetel seberapa kadar uap untuk susu kukus, serta berlatih mengingat-ingat komposisi serangkaian minuman berbahan dasar kopi.
“Aku tak menyangka, makanan yang sepintas sederhana dibuat begitu rumit,” ujar perempuan kesepian.
“Betul, sama rumitnya dengan sepak bola.” Si ganteng menanggapi tanpa berusaha menarik perhatian. Hanya jawaban spontan.
Si pemotret merekam momen itu dengan mata terpicing sebelah. Tapi, Dia malah memerhatikan beberapa orang sedang menyusun tatanan akuarium, sistim filterisasinya dan lampu yang digunakan. Dia memang terobsesi dengan biota laut. Sayang, Dia tidak bisa berenang, gagal menjadi diver dan gagal pula memiliki akuarium laut di apartemennya yang sempit.
Lima tahun sesudahnya, pemotret datang bersama anak dan istrinya. Dia datang dengan kekasih baru, si ganteng hadir bersama lelaki yang ganteng juga, dan perempuan kesepian bercakap mesra dengan lelaki yang sepuluh tahun lebih tua.
“Aku tak mengira kamu menjadi ahli kopi. Aku pikir bakat melukismu kau teruskan.” Perempuan kesepian melongok pekerjaan barista.
“Membuat kopi juga seni, kan? Eh, kamu masih semanis zaman SMA, belum nikah?”
“Sebenarnya aku ingin menikah dengan seniman gila macam kamu, jujur saja.”
“Kamu memang cinta pertamaku. Namun, aku rasa, aku tak layak bersamamu. Hidupku biasa-biasa saja, pendapatanku tak seberapa, sulit membayar segala kebutuhan untuk kecantikanmu. Dan, aku bukan seniman betulan.”