“Aku kenal dengan seorang ahli ikan. Jika kafe ini membutuhkan, bisa aku hubungi sekarang,” kata perempuan kesepian.
“Dulu aku juga pengemar akuarium, bahkan sejak mahasiswa. Aku masih hafal bagaimana memelihara biota air laut,” ujar Dia.
“Kau usulkan diganti saja isinya. Biar pemandangan kafe ini sempurna.”
“Aku malah memilih dibiarkan tanpa ikan, karang, atau apa pun. Hanya air dan gelembung udara. Cukup.”
“Maksudmu bagaimana? Melihat kekosongan kayak orang tolol.”
“Ya, biarkan cuma air, transparan, tapi menimbulkan riak gelap terang bergerak-gerak. Dan gelembung-gelembung udara akan menciptakan irama. Pikiran kita lah yang mengisinya. Semau kita.”
“Aku sudah lama kesepian, rasanya melihat diri sendiri kalau memandang akuarium tanpa mahluk.”
“Itu maksudku,” kata Dia.
Pemotret menimpali, ada kalanya ruang tanpa apa-apa menjadi lebih berarti.
“Komposisi tidak harus selalu penuh elemen. Semacam menyambut kehadiran kedamaian saat memandang ruang kosong yang sebenarnya tidak kosong melompong. That is not a blank space, it is a white or light blue space. Anggap saja sebagai terapi visual.”
Benar juga, pikir perempuan kesepian. Kesendiriannya malah menimbulkan aneka gejolak hati dan pikiran. Seperti disusupi orkestra; persoalan sekaligus solusi –bermain secara bersamaan, seolah turun-naik barisan nada pada aransemen musik; ketukan perkusi, sayatan biola, dentuman bas, dan lengking alat musik tiup.