[caption caption="Ilustrasi: Nito FC"][/caption]Jakarta, 13 April 2100
Dear Diary...
Sekarang kertas sudah jadi barang langka, produksinya sedikit dan sangat mahal harganya. Aku mati-matian menabung untuk beli buku catatan harian. Sebab ada keasyikan khusus manakala apa yang kita alami ditulis dengan tangan sendiri di atas kertas asli.
Aku tadinya heran, mengapa kertas menjadi barang mewah, setelah mencoba mencari tahu di internet, ternyata bahan baku kertas berasal dari kayu. Dan pepohonan kini sudah tinggal sedikit, banyak hutan menjelma menjadi pertambangan dan industri kelapa sawit. Sudah sekian ratus kali berita tentang penanaman kembali tetumbuhan, agar –bukan hanya untuk kertas, juga yang paling utama menjaga habitat hewan yang sebagian spesiesnya sudah punah, atau nyaris punah.
Namun, yang terjadi semacam tambal-sulam, industri-industri tetap bersikeras menjalankan bisnisnya. Hutan yang mulai tumbuh kembali porak-poranda. Protes dari kalangan LSM datang lagi. Sebagian tanah direboisasi, tapi beberapa tahun berikutnya, alat-alat berat menggaruk hingga akar-akarnya. Begitu seterusnya.
Memang beberapa lokasi di Jakarta justru rimbun, jauh sekali keadaannya pada puluhan tahun lalu. Aku melihatnya dari foto-foto peninggalan kakekku yang gemar memotret jalanan, kesibukan orang-orang, dan mengabadikan dinamika peradaban kota besar. Katanya dulu Ibu Kota kering, macet dan semrawut, sekarang boleh lah dibanggakan. Hanya selisih sedikit dengan Singapura.
Berbeda dengan kakek, aku justru memilih merekam derik roda zaman dengan kata-kata. Awalnya menulis di komputer, kemudian aku unggah di sebuah komunitas dunia maya. Tetapi setelah menonton pameran My Diary di lantai 8, gedung Sastra di Taman Ismail Marzuki, aku jadi terdorong menulis pengalamanku sendiri di lembar-lembar buku harian.
Di pameran itu terpampang catatan para penulis dari masa ke masa. Ada tulisan Bung Karno, Soe Hok Gie, Kartini dan para penyair yang sering disebut-sebut pada pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Dan ada pula tulisan dari para pengarang di sekitar tahun 2016. Aku lupa namanya satu-persatu, namun konon saat itu ada semacam gerakan menulis fiksi dari sebuah komunitas yang berawal dari internet, kemudian mewujudkan kembali pentingnya mencatat dalam sebuah Diary.
Kabarnya, kegiatan tersebut merupakan Counter Human Balancing atas tumpah ruahnya sosial media yang dapet diakses bukan hanya melalui komputer portabel, melainkan dalam bentuk telepon pintar seluler yang kini besarnya hanya seukuran pemantik api gas, dan sebaliknya tablet internet ada yang sebesar ukuran koran yang dibaca kakekku.
Pacarku, Sarah, mengatakan,” Mungkin ini semacam lingkaran pemaknaan hidup. Pada dasarnya kebutuhan manusia itu-itu saja. Apa yang kita sebut kemajuan belum tentu bergerak ke titik yang lebih baik.”
“Maksudmu apakah sia-sia semua segala penemuan dan inovasi?” Aku mencoba mendebatnya. Aku tahu, Sarah kurang menyenangi pembicaraan tanpa balasan yang seru.