“Ya, seperti kita.”
Sejak itu, kami sering membicarakan hal-hal seputar pengembaraan, mendaki bukit misalnya. Atau berkelana dari satu kota ke kota lain. Atau pergi ke luar negeri, keliling dunia. Menengok apa yang ada di dalam lautan, mencicipi makanan di setiap daerah, tinggal di sebuah pulau yang tidak ada penghuninya, misalnya lagi. Setidaknya pembicaraan bukan seputar kambing lagi.
Kalau saja orangtua kami mengetahui rencana itu, pasti mereka kurang setuju. Usia kami masih remaja, baru saja menginjak 17 tahun. Apalagi jika mengetahui keinginan aku dan Arako hendak naik kapal selam untuk menjelajahi kedalaman samudra. Kautahu, ayahku juga dulunya seorang petualang: pernah mengelilingi padang pasir dengan onta, pernah tidur berhari-hari di atas pohon di pedalaman Kalimantan hanya untuk memotret burung langka. Rencana ayah untuk ke Amerika Selatan melihat dan memotret anggrek hitam, punah di tengah jalan. Sebab ibu minta segera dinikahi. Andai saja beliau jadi ke sana, boleh jadi aku telat lahir, atau malah tak jadi lahir.
“Ibra... itu namanya takdir,” ujar Arako, saat aku katakan kisah ayah (dan kisahku).
“Kamu percaya hal itu?”
“Aku baca dari buku dan guru agama juga bicara demikian.”
“Bisa jadi kambingmu pergi sebab suratan takdir.”
“Bukan begitu....”
Seperti yang aku bilang sebelumnya, bagaimana pun dia cewek, matanya lantas mengambang gara-gara diingatkan kepergian kambingnya. Sebenarnya aku suka melihat Arako menjadi sisi lain dari dirinya, sisi sebenar-benarnya dari kepribadiannya. Mungkin lingkungan kami yang membentuknya hingga dia menjadi cewek tomboi. Maklum, teman sepermanian kala itu kebanyakan memang laki-laki. Sebaliknya Arako malah menyebutku cowok feminin.
“Aku baru tahu kalau ada cowok suka bunga.” Dia berkata sambil mengunyah kacang mete.
“Memangnya tidak boleh?”