Berbicara tentang budaya Indonesia, tentunya setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi dan budayanya masing-masing. Salah satunya adalah Sumatera Barat yang kaya akan keanekaragaman budaya.Â
Seperti tarian tradisional dari Minangkabau bernama tari payung yang biasanya dibawakan oleh penari dalam jumlah genap. Para penari yang terdiri dari tiga pasangan ini berawal dari Siti Agam dari Bukittinggi dan mendapatkan popularitas.
Sekitar tahun 1960-an, tarian payung ini sangat populer di kalangan Minang dan masyarakat Indonesia lainnya. Diyakini bahwa menikmati budaya Minang masih belum lengkap sebelum melihat pertunjukan tari ini.Â
Ini menunjukan bahwa sebuah pertunjukan dapat berfungsi sebagai media hiburan atau perangkat seni, seperti tarian pembuka suatu acara. Nilai-nilai budaya pada tarian tradisional ini jadi salah satu karakter bangsa yang perlu dijaga. Â
Sejarah Tari Payung
Asal usul tari payung ini tidak pasti. Namun, ada satu catatan sejarah yang diyakini dapat menunjukkan sejarah tari payung dan perkembangannya. Kisah ini erat kaitannya dengan seni pertunjukan saat zaman penjajahan Belanda yang sebelumnya disebut toonel.Â
Teater adalah seni yang lahir di bawah pengaruh sekelompok seniman dari Semenanjung Melayu. Pertunjukan teater toonel termasuk komedi yang berasal dari orang Melayu di Sumatera Barat.Â
Tari payung biasanya ditampilkan sebagai salah satu seni pendukung dalam pertunjukan toonel. Awalnya, tarian payung hanya digunakan sebagai selingan dalam serial drama "Toonel".Â
Kemudian, pada tahun 1920 terjadi beberapa perkembangan dalam drama Toonel. Tari payung semakin populer dan diterima dengan baik oleh masyarakat Bukittinggi.Â
Tarian khas daerah Minangkabau ini awalnya diaransemen dalam bentuk tarian teatrikal oleh Muhammad Rasyid Manggis. Dia mengatur tarian dari tahun 1904 hingga 1920-an. Siti Agam dari Bukittinggi kemudian melanjutkan tariannya.Â
Ia juga dikenal seangkatan dengan Muhammad Rasyid Manggis yang bersekolah di sekolah biasa di Normal School di Bukittinggi.
Siti Agam menyusun koreografi tari payung bertema pemuda dan perkumpulan pemuda. Lebih detailnya, tari payung memiliki cerita dan kisah sepasang muda-mudi yang akan berlibur ke Sungai Tanang yang terletak di daerah Bukittinggi.
Tarian tradisional ini ceritanya menyesuaikan dengan gaya hidup para remaja yang tinggal di perkotaan dan terputus dari aturan yang berlaku di negara tersebut.Â
Hal lain yang menarik dari tarian ini adalah terkadang semua penari yang melakukan tarian payung adalah wanita.Â
Tempat di mana perempuan mengambil alih peran yang seharusnya dimainkan oleh laki-laki dan ini termasuk iringan dan musisi.Â
Budaya Minangkabau kuno dengan tegas melarang perempuan bekerja di luar Ruma Gadang (rumah adat Minangkabau).Â
Hal inilah yang mendorong Siti Agam mendirikan organisasi perempuan yang didirikan pada tahun 1924. Organisasi ini bernama Persatuan Ibu Sumatera. Siti Agam kemudian menjadi pimpinan majalah tersebut. Ini akan mencapai tujuan yang ingin dicapai Siti Agam.Â
Tujuannya adalah untuk mengangkat status perempuan, termasuk di bidang seni, melalui pertunjukan drama Toonel atau dalam bahasa Melayu, Toonel disebut juga Basandiwara.Â
Menurut Damir Idris, mengungkapkan bahwa Siti Agam adalah salah satu wanita paling disegani di Minangkabau.Â
Di mana dia menari di atas panggung untuk pertama kalinya. Siti Agam juga yang mengaransemen tari payung tersebut. Ia juga menari dalam drama Toonel yang disutradarainya. Ini menjadi cerita yang cukup terkenal pada saat itu.Â
Perkembangan Tari Payung
Selain itu, tari payung kemudian dikembangkan oleh Sariaman, yang disebut juga Saliasih. Dia adalah salah satu siswa di sekolah biasa. Jadi dia bersekolah di sekolah yang sama dengan Siti Agam dan Muhammad Rasyid, tapi dia lebih muda dari keduanya.Â
Kemudian, dia menyusun tarian tradisional dengan menekankan perbedaan detail. Namun esensi tarinya tetap sama. Selain Saliasih, Ins Kayutaman yang bukan siswa Normal School, juga berperan dalam perkembangan tari payung.Â
Ada tokoh lain yang telah berkontribusi dalam perkembangan tari payung. Yakni, Sjotian Naan dan Djarmis Sutan Bagindo. Kontribusi Sjotian Naan adalah memberikan komposisi warna pada tari payung yang bersumber dari cerita dan cerita rakyat.
Improvisasi yang dilakukan dalam tarian ini menonjolkan simbol-simbol identitas daerah Minangkabau, walaupun masih ada batasan ukuran baju dan isinya.Â
Selain Shortian, Djarmis Sutan Bagindo juga mengubahnya, tetapi komposisinya tetap mengikuti pola tari payung yang ada.Â
Ia hanya mengubah dimensi dan bentuk batin teks tari. Setelah itu, tari layar juga mengalami dinamika horizontal. Terutama dari siswa Sjofian, yakni Sjofyani Yusaf, Gusmiati Suid, dan Hoerijah Adam.Â
Karakter-karakter ini memainkan peran yang berbeda dalam mengembangkan tari payung sesuai dengan kreasi mereka sendiri. Dari komposisi yang dibuat selama ini. Karya Sjofyani Yusuf adalah salah satu yang paling terkenal hingga saat ini.
Meskipun ada banyak perubahan dalam aransemen tari. Namun, tari payung tetap mengusung tema cinta dengan iringan yang disebut Babendibendi.Â
Berdasarkan sejarah tari payung ini menunjukan nilai budaya yang kuat yang juga jadi karakter bangsa. Jadi, kita juga harus tetap berusaha untuk melestarikan tari payung ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H