Interaksionisme simbolik adalah bagian dari teori mikro sosiologi, karena analisisnya yang berdasarkan pada aspek individu. Konsep teori ini juga cenderung memiliki tendensi dengan urusan identitas seseorang.
2. Teori Fungsionalisme Struktural
Teori ini muncul dari sosok Emile Durkheim yang mengimajinasikan bahwa masyarakat sebagai suatu organisme yang tersusun dari berbagai komponen yang saling mempengaruhi untuk bisa terus berfungsi.
Teori fungsionalisme ini mengajarkan bahwa masyarakat terdiri dari sebuah sistem yang tersusun secara struktural dengan perannya masing-masing. Sehingga, hasil dari sistem secara keseluruhan bisa menciptakan tatanan dan stabilitas sosial.
Durkheim juga menaruh perhatian pada tatanan sosial yang mampu membawa perspektif fungsionalisme ini kepada struktur sosial di level makro sebagai fokusnya dengan institusi sosial yang merupakan komponen dari sistem tersebut.
Dalam kacamata pada teori ini, lembaga sosial akan bertahan saat fungsinya bisa dijalankan dengan baik. Saat terjadi malfungsi, maka lembaga sosial ini secara perlahan akan menghilang.
Antar institusi sosial pun juga harus terjalin kerjasama yang baik, kalau tidak sistem sosialnya akan menjadi kacau. Institusi sosial yang dimaksud adalah keluarga, pemerintah, pendidikan, ekonomi, agama, dan sebagainya.
3. Teori Konflik
Teori konflik ini mengasumsikan pada perbedaan dalam kepentingan yang dimiliki oleh kelas-kelas sosial, sehingga menghasilkan sebuah relasi sosial yang bersifat konfliktual. Teori ini digagas oleh Karl Marx.
Kesenjangan sosial bisa tercipta karena adanya pendistribusian kekayaan yang tidak merata. Sehingga saat kesenjangan tersebut bertambah parah, maka potensi timbulnya konflik menjadi semakin besar.
Kelas sosial yang dimaksud adalah kelompok proletar dan borjuis. Kelompok pertama adalah kelas pekerja atau orang-orang yang tidak mempunyai kontrol atas sumber daya. Sedangkan kelompok kedua adalah yang memegang kontrol terhadap sumber daya karena mempunyai modal yang besar.
Dari dua kelas tersebut, bisa dilihat dengan jelas bahwa adanya kepentingan dan tujuan keduanya yang berbeda. Kaum proletar ini menginginkan kekayaan didistribusikan dengan cara merata. Sedangkan kaum borjuis, malah ingin penambahan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan yang sudah dimilikinya.
Pergesekan antara dua kelompok inilah yang bisa memicu terjadinya revolusi. Apalagi, jika ditambah dengan kesadaran kelas yang membuat kelompok proletar mengetahui kalau mereka telah dieksploitasi.