Mohon tunggu...
grahita muhammad
grahita muhammad Mohon Tunggu... public relations -

newbie blogger

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Limbah Batu Bara, Harta Karun yang Terpendam

20 April 2016   17:13 Diperbarui: 25 April 2016   07:27 1500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Batubara di PLTU (@graheeta)"][/caption]Berbicara soal pembangunan nasional akan membuat kita membayangkan soal pembangunan infrastruktur. Jalan, gedung, jembatan, dan macam-macam bangunan lainnya. Mungkin itulah yang selalu menjadi sasaran negara berkembang seperti Indonesia untuk dijadikan parameter kesuksesan suatu era pemerintahan.

Sejak orde lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, Indonesia yang belum genap 20 tahun memproklamasikan kemerdekaan, sudah ingin memperlihatkan kepada dunia atas kemajuannya dengan membangun bangunan-bangunan fenomenal. 

Monumen Nasional (Monas), Gelora Bung Karno (GBK), Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia (HI), dan bangunan hebat lainnya di masa itu. GBK misalnya, selain menjadi lokasi Asian Games, juga merupakan stadion terbesar se-Asia.

Di zaman orde baru, Presiden Soeharto juga ingin menjadi simbol dari kemajuan dengan julukan Bapak Pembangunan. Jalan tol, bandar udara, jembatan, bendungan, dan gedung-gedung bertingkat satu per satu mulai berdiri. Begitu juga di era reformasi ini, parameter pembangunan masih dinilai seberapa banyak infrastruktur dibangun.  

Saat kampanye Pilpres, para pasangan Capres dan Cawapres masih “menjual” pembangunan infrastruktur sebagai “barang dagangan”-nya. Artinya, pembangunan infrastruktur masih merupakan suatu tesis dari pembangunan nasional.

Pembangunan infrastruktur tentunya akan menimbulkan konsekuensi anggaran yang akan memberatkan APBN. Sehingga pemerintah harus melakukan efisiensi dan optimalisasi agar pembangunan dapat diwujudkan dengan anggaran yang ada.

Memburu Harta Karun

Pembangunan kelistrikan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah ternyata memiliki harta karun yang masih terpendam. Pembangunan sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang sudah mencapai  kapasitas 26 ribu Mega Watt (MW) atau 49% dari total 54 ribu MW seluruh pembangkit listrik di tanah air sepertinya sudah memperlihatkan kepada publik bahwa PLTU menjadi primadona jenis pembangkit listrik yang dibangun pemerintah. Belum lagi jika ditambah program 35 ribu MW pemerintahan Jokowi, maka total kapasitas PLTU akan menjadi 46 ribu MW di tahun 2019.

Lantas apa harta karunnya?

Harta karun merupakan barang gratis yang sangat bernilai, tentunya jika mampu memanfaatkannya. Di balik pembangunan PLTU yang besar-besaran, tersimpan potensi pemanfaatan limbah batu bara yang sangat luar biasa banyaknya. 

Bayangkan saja jika 1 MW yang dihasilkan oleh PLTU rata-rata membutuhkan 600 ton batu bara. Dan dari 1 ton batu bara tersebut menghasilkan 50 kg abu batu bara (ash). 

Jadi jika dihitung dari total kapastitas PLTU yang sudah terpasang sebesar 26.500 MW akan membutuhkan kurang lebih 16 juta ton batu bara setiap harinya. Dari jumlah tersebut, akan menghasilkan 800 ribu ton ash setiap hari. 

Dan jika masih ada tambahan kapasitas PLTU sebesar 20 ribu MW hingga tahun 2019, berarti masih ada tambahan produksi 600 ribu ton ash setiap hari. Inilah harta karun itu, 1,4 juta ton ash dari PLTU setiap hari.

[caption caption="Batubara sebelum dimanfaatkan (@graheeta)"]

[/caption]Lalu bagaimana memanfaatkannya?

Di negara-negara lain, ash dimanfaatkan masyarakat luas untuk diolah menjadi campuran pembuatan beton, paving, batako, dan produk turunan yang lain. Penggunaan ash akan menghemat 30% penggunaan semen dan pasir. Tidak heran jika pemanfaatan ash dari PLTU di negara-negara maju bisa mencapai 100%.

Berbeda dengan di mancanegara, ash di Indonesia dianggap Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sehingga hanya pemanfaat yang mengantongi izin yang boleh mengolahnya. 

Jadi hanya ada dua kemungkinan ash dikelola, pertama disimpan di tempat penimbunan (ash-yard), kedua diambil pabrik semen atau beton.

Pertumbuhan produksi ash tanpa diimbangi dengan pertumbuhan pabrik semen dan beton di Indonesia akan menjadikan persoalan tersendiri. Ash akhirnya hanya akan tertimbun di ash-yard hari demi hari hingga penuh dan harus membuka lahan baru. 

Lalu pertanyaannya, mau sampai kapan? Dan harus membebaskan lahan berapa hektar?

Pencabutan ash dari predikat B3 oleh Kementerian LHK sepertinya akan menjadi awal untuk membuka kotak harta karun. Dari situlah ash dapat dimanfaatkan untuk diolah menjadi campuran bahan baku pembangunan infrastruktur. 

Jalan tol Jakarta-Surabaya, tol Sumatera, bandara, bendungan, dan infrastruktur tol laut yang merupakan program kerja unggulan Jokowi akan dapat suplai bahan baku cuma-cuma. 

Dengan demikian anggaran ratusan trilyun selama beberapa tahun untuk membangun infrastruktur nasional akan dapat “diskon” 30% dengan penggunaan ash. Semoga harta karun yang tertimbun itu tidak lama lagi akan terbuka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun