[caption caption="Batubara di PLTU (@graheeta)"][/caption]Berbicara soal pembangunan nasional akan membuat kita membayangkan soal pembangunan infrastruktur. Jalan, gedung, jembatan, dan macam-macam bangunan lainnya. Mungkin itulah yang selalu menjadi sasaran negara berkembang seperti Indonesia untuk dijadikan parameter kesuksesan suatu era pemerintahan.
Sejak orde lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, Indonesia yang belum genap 20 tahun memproklamasikan kemerdekaan, sudah ingin memperlihatkan kepada dunia atas kemajuannya dengan membangun bangunan-bangunan fenomenal.
Monumen Nasional (Monas), Gelora Bung Karno (GBK), Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia (HI), dan bangunan hebat lainnya di masa itu. GBK misalnya, selain menjadi lokasi Asian Games, juga merupakan stadion terbesar se-Asia.
Di zaman orde baru, Presiden Soeharto juga ingin menjadi simbol dari kemajuan dengan julukan Bapak Pembangunan. Jalan tol, bandar udara, jembatan, bendungan, dan gedung-gedung bertingkat satu per satu mulai berdiri. Begitu juga di era reformasi ini, parameter pembangunan masih dinilai seberapa banyak infrastruktur dibangun.
Saat kampanye Pilpres, para pasangan Capres dan Cawapres masih “menjual” pembangunan infrastruktur sebagai “barang dagangan”-nya. Artinya, pembangunan infrastruktur masih merupakan suatu tesis dari pembangunan nasional.
Pembangunan infrastruktur tentunya akan menimbulkan konsekuensi anggaran yang akan memberatkan APBN. Sehingga pemerintah harus melakukan efisiensi dan optimalisasi agar pembangunan dapat diwujudkan dengan anggaran yang ada.
Memburu Harta Karun
Pembangunan kelistrikan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah ternyata memiliki harta karun yang masih terpendam. Pembangunan sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang sudah mencapai kapasitas 26 ribu Mega Watt (MW) atau 49% dari total 54 ribu MW seluruh pembangkit listrik di tanah air sepertinya sudah memperlihatkan kepada publik bahwa PLTU menjadi primadona jenis pembangkit listrik yang dibangun pemerintah. Belum lagi jika ditambah program 35 ribu MW pemerintahan Jokowi, maka total kapasitas PLTU akan menjadi 46 ribu MW di tahun 2019.
Lantas apa harta karunnya?
Harta karun merupakan barang gratis yang sangat bernilai, tentunya jika mampu memanfaatkannya. Di balik pembangunan PLTU yang besar-besaran, tersimpan potensi pemanfaatan limbah batu bara yang sangat luar biasa banyaknya.
Bayangkan saja jika 1 MW yang dihasilkan oleh PLTU rata-rata membutuhkan 600 ton batu bara. Dan dari 1 ton batu bara tersebut menghasilkan 50 kg abu batu bara (ash).