“ Maaf yang mulia, saya hanya mengumpulkan kertas-kertas yang telah dibuang”, jawab Sjarif.
“Untuk apa kertas-kertas itu?”, tanya Daendels.
“Saya biasa belajar dari tulisan-tulisan yang telah yang mulia dan orang-orang Belanda lain tulis. Karena saya tidak sekolah, maka saya belajar dari sini”, kata Sjarif.
“Mengapa kau sangat tertarik sekali untuk belajar? Bukankah orang Indonesia pemalas?”, ejek Daendels.
“Maaf yang mulia, tetapi saya ingin menjadi orang yang pintar seperti yang mulia. Saya ingin belajar dari orang Belanda supaya kelak suatu saat nanti ketika saya sudah besar saya dapat mensejahterahkan negara saya, sehingga mereka tidak perlu menderita seperti sekarang ini.
Saya percaya bahwa hidup hanya sekali saja, apapun yang terjadi harus dalam hidup saya, harus saya syukuri dan nikmati. Saya ingin melakukan yang terbaik bukan untuk diri sendiri tetapi untuk org lain juga yang mulia.”, ungkap Sjarif dengan sepenuh hati.
***
Setiap hari Daendels merenungkan apa yang telah dikatakan Sjarif. Ia sadar bahwa ia tidak seharusnya bersikap kasar dan semena-mena terhadap rakyat Indonesia. Meskipun Belanda yang menguasai Indonesia, bukan berarti Belanda memanfaatkan Indonesia untuk kepentingannya sendiri, melainkan seharusnya Belanda, sebagai ‘senior’, membantu Indonesia untuk menjadi negara yang lebih maju lagi dan rakyatnya dapat menjadi orang-orang yang berhasil serta dapat mengharumkan nama negara Indonesia.
-Dengan kelemahlembutan dan bukan dengan kekerasan seseorang dapat menjadi orang yang berhasil-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H